TINGKEPAN PARI
Upacara adat tingkepan pari adalah upacara yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dan permohonan pada yang maha kuasa agar padi dapat berbuah dengan baik. Selain itu, upacara ini bertujuan sebagai sarana untuk menyambung tali silahturahmi antar sesama warga dengan membangun rasa saling tolong menolong. Beberapa daerah menyebut tradisi ini dengan istilah lain, misalnya di Mergoasri, Tuban tradisi tingkepan pari disebut dengan ‘Kaleman’ (mergoasri-parengan.desa.id, 2020). Namun, untuk daerah lain seperti di Laban, Kendal-Jawa Tengah (inibaru.id, 2018); Jati, Soko-Tuban (kongkrit.com, 2019); dan sebagainya.
Tingkepan pari merupakan sebuah tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang yang dipengaruhi oleh agama Hindu-Budha dan mempercayai bahwa Dewi Sri adalah Dewi pertanian, Dewi padi dan sawah, serta Dewi kesuburan. Selain itu, Dewi Sri juga dipercaya sebagai dewi yang menguasai ranah dunia bawah tanah dan bulan. Perannya mencakup segala akses, Dewi ibu yakni sebagai perlindungan kelahiran dan kehidupan. Dewi Sri juga mengendalikan bahan makanan di bumi terutama padi, ia juga disebut sebagai Dewi pengatur kehidupan, kekayaan dan kemakmuran manusia.
Masyarakat di Desa sebelah selatan Tulungagung memiliki suatu tradisi, bahkan hingga saat ini masih dilaksanakan oleh orang-orang yang bermata pencaharian sebagai petani. Tradisi ini disebut tingkepan pari, sama halnya dengan manusia yang melaksanakan upacara tingkepan yaitu pada bayi berumur 7 bulan dalam kandung. Namun perbedaannya tingkepan pari ini dilakukan ketika tanaman padi berumur 2 bulan setelah di tanam di sawah. Tingkepan pari dilaksanakan sama seperti buka sawah yang dilaksanakan pada hari jumat kliwon hanya waktu yang bertepatan pari atau padi sudah hidup subur menghadapi buah atau saat padi akan berbuah. Tujuan dari tingkepan pari yaitu mensyukuri atas tanaman yang di tanam dan buah yang akan timbul semoga berbuah dengan baik. Selain itu memohon agar diberikan perlindungan dari berbagai macam penyakit padi dan kelancaran hingga panen.
Terdapat beberapa syarat yang harus ada dalam upacara buka sawah yaitu sego kokoh dan cok bakal. Beberapa orang membawa makanan berupa sego kokoh dan lauk ayam lodho. Dalam kenduri, lodho sego gurih juga disebut sekul suci ulam sari yang berarti nasi suci dan lauk inti. Sego kokoh atau sego gurih ini dimasak dengan santan dan garam hingga rasanya menjadi gurih, dengan memakan sego gurih dipercaya akan mendatangkan keberkahan dan kemakmuran bagi yang menikmatinya. Ayam adalah lambang dari rasa syukur dan kenikmatan yang didapatkan. Selain itu ayam juga merupakan bentuk doa baik bagi manusia agar bisa meniru perilaku ayam. Ayam tidak melahap semua makanan yang diberikan padanya, melainkan hanya memilih makanan mana yan baik dan tidak.
Cok bakal merupakan sesaji yang dulunya ditujukan sebagai bentuk permohonan keselamatan dan keberkahan kepada dewi padi. Dewi padi merupakan dewi kesuburan yang dipanggil dengan sebutan nama Dewi Sri. Cok bakal juga sebagai simbol permulaan dalam kehidupan yang berawal dari ketiadaan mnejadi ada, serta sebagai simbol hubungan antara tuhan dengan manusia. Makna dari kata cok bakal “Cikal Bakaling Urip Dumadining Jagat Sakalir, Eling Marang Purwa Duksina Jantraning Gesang” yang berarti asal mula kehidupan terjadinya seluruh alam semesta, menginat pada awal dan akhir kehidupan. Masyarakat jawa menggunakan cok bakal sebagai media awal dalam melaksanakan suatu kegiatan juga sebagai rasa syukur kepada tuhan agar kegiatan yang dilaksanakan lancar tanpa halangan. Dalam cok bakal biasanya terdiri dari telur, beras, gula, garam, cabe rawit, rempah-rempah, bumbu dapur, irisan kelapa yang sudah dipisahkan dari tempurungnya, badek ketan (air dari tape ketan), bunga setaman, biji-bijian yang diletakkan dalam satu wadah dari daun pisang bernama takir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar