Pada saat Sri
Girindra tersingkir dari istana, Ken Arok berusia sekitar 12 tahun. Setelah
dewasa, mengetahui sejarah Jenggala, mengetahui ayahnya tersingkir dari istana
akibat serbuan Senapati Agung Tunggul Ametung. Setelah bertemu Pendeta Lohgawe,
ia bertekad membalas kekalahan ayahnya.
________________
PADA sarasehan budaya awal tahun di gedung pramuka, Ki Dalang Sodrun keheranan
pada Tulungagung. Ada apa sejatinya dengan tanah ini? Mengapa pada masalalu
banyak tokoh besar mengakhiri hidupnya menyingkir ke Banarawa? Mengapa Gayatri,
Jaka Tingkir, Pangeran Benawa, disemayamkan di brang kidul? Dalang Wali asli
Blitar itu meyakini ada apa-apanya dengan Tulungagung.
Saya juga meyakini Tulungagung ada apa-apanya, pernah selama beberapa kurun,
berperan besar dalam perjalanan sejarah nusantara masa silam. Keyakinan saya
bertambah tebal ketika menemukan fakta bahwa Tulungagung termasuk satu-satunya
wilayah di luar pusat keraton, yang memiliki daerah perdikan terbanyak. Itu
karena Tulungagung banyak memberikan pertolongan agung pada para raja. Selain
Rajapatni Gayatri, Tulungagung juga menjadi tempat pendarmaan beberapa tokoh
Singasari dan Majapahit lainnya, seperti Tunggul Ametung, Mahisa Wonga Teleng,
Mapanji Tohjaya, Raden Wijaya, Baginda Kertawardhana, dan Sri Wikramawardhana.
Tapi selama ini, sangat sedikit sumber referensi sejarah, sangat sedikit buku
kajian sejarah, utamanya terkait Tulungagung, yang cukup secara memuaskan,
menjawab segala keheranan kita. Sementara sejauh ini, peristiwa-peristiwa
sejarah di Tulungagung menginspirasi perkembangan kesenian rakyat Mataraman,
seperti ketoprak, reog Kendang, dan tari Jaranan. Sementara sesungguhnya
Tulungagung berbakat menjadi pusat budaya, utamanya di Jawatimur. Bukankah
penemuan fosil Wajakensis menandakan bahwa Tulungagung pernah menjadi
pancer kebudayaan kuna Nusantara?
Pada kesempatan ini, kita akan mencoba kuak sejarah Tulungagung, sebatas sejauh
yang tercantum dalam sumber tertulis atau prasasti. Pada masalalu, yang
dinamakan wilayah brangkidul —sekarang Tulungagung— adalah daerah di selatan
sungai Brantas, mulai alas Lodaya di timur, berbatasan langsung dengan Turen
atau Turyantapada, memanjang ke barat sampai gunung Wilis dan pegunungan
Trenggalek, termasuk Kampak dan Karangan —sampai tahun 1950M, Karangan dan
Kampak masuk Tulungagung. Karena itu, ketika kaji sejarah Tulungagung, bakal
bersinggungan dengan sejarah Blitar dan Trenggalek. Sejarah Tulungagung,
terutama juga bersinggungan dengan sejarah Kediri. Bagaimanapun, Tulungagung
memiliki ikatan lahir batin yang sangat erat dengan tiga tetangganya itu.
Tulungagung pada masa Medang I Bhumi Mataram
DYAH BALITUNG adalah raja Medang Mataram yang pertama kali meluaskan
kekuasaannya ke Jawatimur bahkan Bali. Ketika itu di Jawatimur berdiri kerajaan
Kanjuruhan, berpusat di timur gunung Kawi atau daerah Malang. Untuk meluaskan
kekuasaannya, sudah barang tentu Dyah Balitung harus menaklukkan Kanjuruhan
lebih dulu. Dan itu yang kemudian dilakukannya. Tetapi pada penyerbuan pertama,
pasukan Dyah Balitung mendapat perlawanan sengit, terpukul mundur jauh ke
barat, sampai akhirnya berkubu di gunung Wilis, persisnya di daerah Penampihan.
Sampai kemudian atas bantuan besar atau pertolongan agung para tokoh dan
penduduk Penampihan atau daerah Kubu-Kubu, Dyah Balitung berhasil menaklukkan
Kanjuruhan.
Beberapa waktu kemudian, Dyah Balitung mengeluarkan prasasti kerajaan berisi
anugerah sima perdikan kepada daerah Kubu-Kubu. Prasasti ini kelak dinamakan
prasasti Penampihan pertama. Inilah saat dimana Tulungagung mulai berperan
besar dalam sejarah kerajaan di tanah Jawa. Peran Tulungagung berlanjut setelah
Medang Mataram runtuh dan pindah ke Jawatimur.
Tulungagung pada masa Medang Jawatimur
TATKALA Raja Wawa bertahta di Medang Mataram, berderap kekuatan wangsa
Saelendra dari Swarnadwipa menghantam Medang Mataram. Kekuatan Boddha berhasil
menaklukkan kemaharajaan Siwa di Medang bhumi Mataram. Itulah akhir riwayat
kekuasaan kerajaan Siwa di bhumi Mataram. Kerajaan ini hancur bukan lantaran
bencana letusan gunung Merapi —sebagaimana teori Van Bommel yang juga dianut
banyak sejarawan.
Mahamentri Hino Mpu Sindok berhasil lolos dari gulungan wangsa Saelendra. Putra
mahkota Raja Wawa itu kemudian mendirikan kerajaan di Jawatimur yang berhaluan
Boddha, bukan Siwa, membangun keraton baru di Tamwlang, lalu pindah ke
Watugaluh, Jawatimur —Tamwlang sekarang bernama Tembelang, sementara Watugaluh
menjadi Megaluh, keduanya di Jombang. Mpu Sindok menyebut kerajaannya sebagai
penerus Medang bhumi Mataram yang berkeraton di Watugaluh. “Kita prasiddha
mangraksa kadatwan rahyangta i bhumi Mataram ing watu galuh”. Meski
memproklamasikan sebagai penerus Medang Mataram, Mpu Sindok memutus hubungan
darah dengan wangsa Sanjaya, membangun wangsa baru bernama Isanawangsa.
Mendengar Medang Mataram berlanjut di Jawatimur, Sriwijaya tidak tinggal diam.
Meski Mpu Sindok penganut Boddha, bukan halangan bagi wangsa Selendra
menderapkan pasukannya dari Mataram menuju Jawatimur. Maka pada 929M, dua
kekuatan besar bertemu di Anjukladang. Tetapi pasukan Mpu Sindok berhasil
memukul mundur pasukan keturunan Balaputradewa itu.
Kemenangan Mpu Sindok atas Sriwijaya juga berkat sokongan kekuatan dari Kampak.
Mpu Sindok kemudian mengeluarkan prasasti yang berisi anugerah sima perdikan
kepada daerah Kampak —ini hampir bersamaan dengan dikeluarkannya Prasasti
Anjukladang yang kelak menjadi landasan hari jadi kabupaten Nganjuk. Sebelum
menjadi bagian Trenggalek, daerah Kampak masuk Tulungagung. Dapat dikatakan
pula bahwa pada awal pemerintahan Mpu Sindok, Tulungagung kembali tampil dalam
pentas sejarah, kembali memberikan pertolongan agung pada seorang raja.
Pada masa Sri Dharmawangsa, kekuatan wangsa Isana giat menggempur Jawatengah
sampai akhirnya wangsa Selendra kembali ke tanah moyangnya di Sumatera. Sayang,
kerajaan Medang adalah kerajaan agraris, bukan maritim seperti Sriwijaya yang
pada waktu itu diakui dunia sebagai kerajaan maritim tertangguh di asia
tenggara. Dengan bantuan sekutunya, Aji Wura-Wari dari Lwaram, Sriwijaya
berhasil menghancurkan Dharmawangsa.
Prasasti Pucangan yang dikeluarkan Erlangga pada 1041M menulis: “…rikalaning
pralaya ring yawadwipa i rikang sakalala 928 ri prahara haji Wurawari maso
mijil sangke Lwaram, ekarnawa rupanikang sayawadwipa rikangkala. Tatkala
terjadi pralaya di pulau Jawa pada 928 saka, akibat prahara Raja Wurawari yang
muncul dari Lwaram, pulau Jawa pada waktu itu seperti hamparan lautan —rata.
Pada waktu itu berlangsung pesta merayakan penikahan Erlangga dengan Dewi
Laksmi, putri sulung Dharmawangsa. Sri Dharmawangsa dan permaisuri gugur.
Sementara dalam kawalan Narottama, Erlangga dan permaisurinya berhasil
mengungsi ke barat, menuju sebuah asrama Pandita di Wanagiri, tepatnya di desa
Cane. Beberapa bulan kemudian Erlangga dan Narottama menuju desa Terep di kaki
gunung Penanggungan, berlindung dan berguru pada pandita wibawa penganut agama
Siwa. Erlangga menyunting putri sulung pandita Wibawa sebagai istri selir.
Ketika Medang i Bhumi Watan runtuh, beberapa kerajaan bawahannya seperti
Wengker, Hasin, Wuratan, Lewa, dan Lodoyong memerdekakan diri. Lodoyong
berdaulat di selatan sungai Brantas, mulai dari alas Lodaya di timur, hingga
daerah Kamulan Parahyangan di kaki gunung Wilis, batas Hasin.
Pada sekitar 1009M, datang para pandita dan kesatria ke Terep, menemui
Erlangga, meminta supaya menjayakan kembali kerajaan Medang. Erlangga
menyanggupinya. Maka perlahan Medang berkumandang di kaki gunung Penanggungan,
menaklukkan desa-desa kecil dan kerajaan-kerajaan di sekitar Penanggungan,
sambil mulai membangun istana baru di Watan Mas, di kaki gunung Penanggungan.
Ketika pada 1025M Sriwijaya ditaklukan Colamandala dari India, Erlangga leluasa
melebarkan sayap kekuasaannya. Mpu Narottama menyarankan supaya tidak tergesa
menggempur Lodoyong Tulungagung yang pada waktu itu memiliki balatentara
ngedab-edabi. Maka untuk sementara balatentara Medang menaklukan Lewa, Wuratan,
dan Hasin. Penaklukan Erlangga atas kerajaan Hasin di baratdaya gunung Wilis
menerbitkan prasasti Baru bertarikh 1030M. Isi prasasti itu adalah pemberian
anugerah perdikan kepada Desa Baru yang telah membantu Erlangga ketika
menggempur Hasin.
Sekarang Desa Baru bernama Baruharjo, di kecamatan Durenan, Trenggalek,
berbatasan langsung dengan kabupaten Tulungagung. Sekarang prasasti Baru yang
berbentuk lempengan tembaga berada di Surabaya. Sebelum menjadi bagian wilayah
kabupaten Trenggalek, atau sebelum tahun 1950M, Desa Baru dan kecamatan Durenan
masuk wilayah Tulungagung. Dapat dikatakan bahwa pada masa itu, tidak semua
daerah di brang kidul melawan Erlangga, salah satunya daerah Baru. Dengan
tercantumnya nama Baru pada prasasti, dapat pula dikatakan bahwa Tulungagung
kembali menorehkan sejarah, kembali memberikan pertolongan agung pada seorang
raja.
Mendengar pasukan Erlangga menaklukkan Hasin, Ratu Tulodong tidak tinggal diam,
menderapkan pasukan perempuannya. Setelah menyeberang Brantas, pasukan besar
Ratu Dyah Tulodong berderap ke utara membelah lembah tumur gunung Kawi, menuju
lereng Penanggungan atau gunung Arjuna, menuju istana Erlangga di Watanmas.
Pasukan Erlangga terpukul mundur ke utara, hingga kemudian bertahan di sebuah
tempat bernama Patakan.
Peristiwa sejarah ini seolah tenggelam oleh kebesaran nama Erlangga. Kejayaan
tokoh perempuan perkasa dari brang kidul pada sekitar tahun 1031M, tenggelam
oleh keperkasaan kaum lelaki. Sementara sesungguhnya peristiwa itu termuat
dalam Prasasti Terep: “…Cri maharaja katalayah sangke wwatan mas mara i
patakan”. Meski dalam Prasasti Terep tidak menyebut nama perempuan
perkasa yang berhasil mengalahkan Erlangga, dari penafsiran prasasti Terep dan
Pucangan menyimpulkan bahwa sang penakluk itu adalah Ratu Dyah Tulodong,
penguasa kerajaan Lodoyong yang berpusat di selatan sungai Brantas.
Prasasti Terep dan Prasasti Pucangan menulis bahwa ratu itu bertubuh serupa
raksasa dengan kekuatan melebihi manusia biasa. Banyak ahli sejarah terkecoh
dengan berita itu. Ungkapan itu adalah simbolisasi bahwa perempuan penakluk
dari daerah selatan itu memiliki kekuatan luar biasa serupa raksasa atau
melebihi kekuatan orang biasa, bukan bentuk tubuh ratu itu mengerikan serupa
raksasi atau raksasa perempuan. Tentunya penulis Prasasti memiliki alasan
mengapa menyebut ratu Tulodong bertubuh serupa raksasa. Prasasti yang
tulisannya berbentuk kidung ini memang bertujuan untuk memuji sosok Erlangga
sebagai maharaja titisan Wisnu. Sementara Ratu Tulodong adalah pemuja Durga.
Dalam pemahaman ajaran Trimurti, Batara Durga merupakan salah satu sakti atau
istri Dewa Siwa. Di selatan sungai Brantas atau di sekitar Sumberjati, banyak
ditemukan arca Dewi Durga dan arca Ganeca serta arca berwujud katak. Arca-arca
itu banyak dimiliki oleh para pemuja Dewi Durga. Kelak Ratu Tulodong menjadi
sosok yang menyebabkan tidak sempurnanya tugas Mpu Bharada ketika membelah
kerajaan Erlangga.
Tetapi Erlangga adalah titisan Wisnu yang tidak pernah berhenti berjuang
menciptakan ketentraman tanah Jawa. Prasasti Pucangan menggambarkan Erlangga
sebagai pemeluk agama Wisnu yang tawakal dan teguh. Bahwa selama tinggal di
asrama, para pandita memberitakan jika Erlangga titisan Wisnu yang masih harus
menyelesaikan tugasnya menyelamatkan dunia dari ancaman bahaya. Dewa Wisnu
tidak pernah gagal menunaikan tugas. Erlangga percaya dan itu semakin menambah
keteguhan hati merebut kembali kerajaannya yang telah diduduki musuh.
Maka Erlangga segera mengumpulkan kekuatan, merencanakan serangan balasan.
Sampai kemudian di penghujung 1032M, hari pembalasan tiba. Sri Maharaja
Erlangga, Mpu Narottama, Mpu Niti, dan Mapanji Tumanggala memimpin pasukan
gabungan berderap menuju selatan. Setelah mengepung gunung Cemenung, pusat
kekuatan Lodoyong, Erlangga berhasil menekuk ratu Tulodong. Lodoyong jatuh.
Tetapi Ratu Tulodong mendapat pengampunan Erlangga, tetap memimpin Lodoyong
sebagai bawahan Medang, sebagai salah satu senapati kerajaan, bahkan mendapat
gelar Rake Halu Dyah Tumabong. Adanya gelar Rake Halu, apakah itu berarti bahwa
penguasa Lodoyong disunting salah seorang anggota keluarga istana? Menjadi
permaisuri Mapanji Tumanggala, adik ipar Erlangga? Belum pasti benar. Yang
dapat dipastikan dari pembacaan prasasti Pucangan bait 28 adalah ketika pasukan
Erlangga menggulung Wurawari, kekuatan Lodoyong termasuk dalam pasukan
penggulung itu. Demikian pula ketika Erlangga menghantam Wengker, Lodoyong
turut serta.
Prasasti Pucangan menceritakan, setelah menundukkan Lodoyong dibrang kidul,
balatentara Medang tidak langsung berderap ke Wengker, melainkan menyerbu
Lwaram. Pasukan gabungan Medang dan Lodoyong merajalela di Lwaram. Raja
Wurawari tamat riwayatnya. Kemudian Erlangga meninggalkan Patakan dan membangun
ibukota baru di Kahuripan. Setelah Desa Terep ditetapkan sebagai daerah sima,
balatentara Medang berderap menggempur Wengker. Prasasti Pucangan Bait 26, 27,
28 menulis penaklukan Erlangga atas Lodoyong pada 1032M yang dilanjutkan
menyerbu Wengker pada 1035M. ”Maka terdapatlah di dalam negeri seorang
perempuan yang memiliki tenaga perkasa, serupa seorang raksasi. Dengan tak
gentar apa-apa, pergilah beliau memasuki daerah yang hampir tak dapat dimasuki
itu. Peristiwa itu terjadi pada tahun saka 954, pada waktu itulah raja mendapat
kenamaan lantaran menaklukan dan membakar Jawa bagian selatan, bagai seekor
naga api dengan lidahnya, menjilat kekiri kekanan, maka dinyatakanlah dengan
tegas daerah selatan yang paling mengerikan itu sebagai daerah taklukan.
Setelah mendapat banyak harta rampasan yang kemudian dihadiahkan kepada para
hambanya, maka kemasyuran yang diraih sang raja, setara para brahmana dan
petapa. Terdorong keinginan mencari nama, maka pergilah beliau sesudah itu
menuju ke Barat, dalam tahun 957 Saka tanggal 13 paroterang, bulan Badrapada,
pada hari baik-baik, hari Rabu, membawa balatentara yang tak terhitung
banyaknya lengkap dengan prajurit bertenaga kuat dan yang ingin berperang
[pasukan Lodoyong]. Dengan tepuk gemuruh dunia, beliau berhasil memetik
kemenangan mengalahkan raja bernama Wijaya —raja Wengker Wijayawarman.”
Setelah menaklukkan Lodoyong, Wura-Wari, juga Wengker, Erlangga dapat dikatakan
berhasil menjadi seorang maharaja Medang. Jawatimur dan Jawatengah berada dalam
kekuasaannya. Meski berhasil merebutnya kembali istana Watanmas, Erlangga tidak
menempatinya lagi, melainkan membangun keraton baru bernama Kahuripan.
Beberapa bulan setelah mengeluarkan prasasti Pucangan, Erlangga meninggalkan
Kahuripan menuju Daha. Dan setahun kemudian, Erlangga menghadapi persoalan
besar, perebutan takhta antara kedua putranya, Mahamentri i Hino Sri
Samarawijaya dengan Mahamentri i Sirikan Mapanji Garasakan. Sampai kemudian
untuk memecahkan persoalan, Sri Erlangga memutuskan membelah negara demi kedua
puteranya. Erlangga menyerahkan sepenuhnya pada Mpu Bharada.
Pembelahan kerajaan Erlangga yang disimbolkan dengan kisah pengucuran air kendi
Mpu Bharada selain tercantum dalam Prasasti Mahaksobhya yang dikeluarkan Sri
Kertanagara, juga termuat dalam kakawin Negarakertagama pupuh 68, yang ditulis
Prapanca pada tahun 1365M. Sebelumnya atau dalam pupuh 67 kakawin
Negarakertagama karya Dang Acarya Samantabhadra alias Prapanca menulis pesta
srada yang diselenggarakan keraton Majapahit serba meriah dan hikmat penuh
penghormatan kepada mendiang Sang Rajapatni Dyah Gayatri. Perayaan yang
membikin girang jiwa sri Rajapadni yang sudah mangkat. Semoga arwah Sang
Rajapatni melimpahkan berkat kepada Sri Nata Rajasanagara supaya tetap jaya
menghadapi para musuh selama masih ada bulan dan surya. Lodang lega rasa
Baginda Prabu Rajasanagara menyaksikan perayaan berlangsung lancar tiada
halangan. Tinggal menunggu karya yang belum rampung yaitu menyempurnakan candi
makam Sri Rajapatni Dyah Gayatri di Kamal Pandak.
“Inilah sejarah Kamal Pandak menurut tutur yang dapat dipercaya,” tulis
Prapanca dalam pupuh 68 Negarakertagama. “Suatu ketika Sri Nata Panjalu Daha
Maharaja Erlangga berkehendak membelah tanah Jawa lantaran cinta pada kedua
putranya. Tersebutlah seorang pendeta Boddha Mahayana yang putus dalam kitab
tantra dan yoga, bermukim di tengah kuburan Lemah Tulis, sosok yang senantiasa
menjadi pelindung rakyat, ketika mengunjungi pulau Bali hanya berjalan kaki,
tenang menapak permukaan lautan. Mpu Bharada namanya, sosok yang paham tiga
jaman. Girang beliau menyambut permohonan Maharaja Erlangga supaya membelah
Negara. Maka perbatasan Negara ditandai dengan air kendi yang mancur dari
angkasa. Dari barat ke timur sampai lautan. Lalu dari utara ke selatan. Daerah
selatan yang jaraknya tidak begitu jauh bagaikan terpisah samudera besar. Di
daerah selatan itu sang pendeta turun dari angkasa, berhenti di atas pohon
Kamal, berniat menaruh kendi suci di Desa Palungan untuk mengakhiri penentuan
garis batas kerajaan. Tetapi sebelum menginjak tanah, sang pendeta murka
lantaran jubahnya terkait puncak pohon kamal yang tumbuh menjulang tinggi. Mpu
Barada terbang ke angkasa lagi lalu mengutuk pohon Kamal menjadi pandak atau
kerdil. Itulah tugu batas gaib yang tidak boleh dimasuki kekuasaan Panjalu dan
Janggala. Itulah sebab mengapa sekarang dibangun candi. Tujuannya supaya
menyatukan tanah Jawa kembali. Dengan demikian semoga baginda prabu serta
rakyat tetap tegak, teguh, waspada, Berjaya memimpin Negara yang kini sudah
kembali bersatu-padu”.
Dalam pupuh selanjutnya Prapanca menyebutkan candi yang dibangun di Kamal
Pandak bernama candi Prajnaparamitapuri atau candi Wisesapura, candi makam bagi
Sang Rajapatni Dyah Gayatri. Candi makam di Bayalangu ini kesohor sebagai
tempat keramat, tiap bulan badrapada disekar para pembesar kerajaan dan para
pendeta.
Ketika membaca beberapa hasil karya sastra para pujangga Jawa baik tulisan
maupun lisan, seyogyanya harus memahami watak asli tersebut. Peristiwa sejarah
yang benar-benar terjadi kerap kemudian kelihatan seperti dongengan tidak masuk
akal lantaran sudah banyak dibumbui perkara-perkara gaib, bertujuan meluhurkan
para tokoh yang diceritakan. Dongeng tersangkutnya jubah Mpu Barada pada pohon
asem alas atau pohon kamal mengandung arti Mpu Barada mendapat rintangan besar
ketika melakukan pembelahan Negara, sehingga tugasnya tidak sempurna. Ada
sebuah daerah yang tidak berhasil dijangkau atau tidak mau tunduk pada
kekuasaan Panjalu maupun Janggala. Karena itu Mpu Barada yang hampir selesai
menentukan daerah-daerah mana saja yang masuk kekuasaan Panjalu dan
daerah-daerah mana yang masuk wilayah Janggala, menjadi murka pada penolakan
penguasa daerah brang kidul yang ingin merdeka. Padahal daerah itu digolongkan
sebagai daerah berkedudukan lebih rendah dari daerah sekitar —dilambangkan
sebagai daerah palungan atau cekungan. Di sini maksud daerah palungan
sesungguhnya daerah yang memiliki derajat lebih rendah ketimbang Panjalu dan
Janggala. Daerah itu memutuskan berdiri sendiri, serupa berdiri tinggi menjulangnya
pohon kamal di tanah cekungan melebihi ketinggian pohon-pohon lain di tanah
lebih tinggi. Daerah palungan melawan kekuatan atau kehendak Mpu Barada. Tetapi
Mpu Barada tidak sanggup menaklukkan brang kidul. Meski demikian perselisihan
dapat diselesaikan dengan kesepakatan dua belah pihak, bahwa sejak saat itu
brang kidul menjadi daerah merdeka, dengan syarat harus menghormati kekuasaan
Panjalu dan Janggala. Sang pandita mengabarkan kemerdekaan brang kidul ibarat
tugu gaib ujung batas sebelah selatan yang tidak boleh dilintasi Panjalu dan
Janggala. Kutukan Mpu Barada kepada pohon kamal supaya berubah kecil atau
pandak mengandung makna supaya ketinggian dan kekokohan brang kidul mengecil
lalu lenyap sehingga yang berkuasa di tanah Jawa hanya Panjalu dan Janggala,
kerajaan yang dibangun Maharaja Erlangga.
Demikianlah, pembelahan negara yang dilakukan Mpu Barada berjalan kurang
sempurna. Ada satu daerah di selatan sungai Brantas yang berdiri sendiri, tidak
termasuk bagian Panjalu yang dipimpin Samarawijaya, maupun Janggala yang
dirajai Mapanji Garasakan. Daerah merdeka itu adalah Lodoyong atau sekarang
menjadi Tulungagung.
Setelah Panjalu dan Janggala terbentuk, pada 24 Nopember 1042M, Erlangga
meninggalkan keraton Daha, menjadi pandita dan berganti nama Resi Aji Paduka
Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Tulungagung pada masa Panjalu dan Janggala
AKAN tetapi pembelahan kerajaan Erlangga justru menimbulkan sikap saling
menaklukkan antara Panjalu dan Janggala. Masing-masing berkeinginan menjadi
penguasa tunggal di tanah Jawa. Pada awalnya Jenggala unggul. Yang berkuasa di
Jenggala setelah masa Erlangga adalah Sri Maharaja Mapanji Garasakan, Sri
Maharaja Mapanji Alanjung Ahyes dan. Sri Maharaja Rake Halu Pu Juru
Samarotsaha. Sementara di Panjalu antara lain Sri Samarawijaya, Sri Jayawarsa
Digjaya Sastraprabhu, Sri Bameswara Sakalabhuwana, dan Sri Maharaja Sang
Mapanji Jayabhaya. Pada masa Sri Jayabaya, dengan semboyan Panjalu Jayati alias
Panjalu Menang, Panjalu unggul atas Jenggala. Berita kemenangan besar itu
diceritakan dalam prasasti Ngantang.
Akan tetapi setelah Jayabaya wafat akibat pemberontakan Rake Sirikan Sri
Sarweswara, tanah Jawa yang sebelumnya sempat bersatu, kembali bergolak,
Panjalu dan Jenggala kembali berseteru. Kemelut perebutan tahta di Panjalu
membikin keturunan Jenggala tergugah bangkit melepaskan diri dari kekuasaan
Panjalu. Janggala memusatkan kekuatannya di timur gunung Kawi, Kutaraja.
Sri Jayabhaya memiliki dua putra, Sri Aryeswara dan Sri Sarweswara. Pada
waktu Sri Jayabhaya bertahta, Sri Aryeswara menjabat sebagai mahamentri I hino,
sementara Sri Sarweswara menjabat sebagai mahamentri I Sirikan. Keduanya
termasuk kelompok mahamentri Katrini. Dalam kelompok ini, yang berposisi
tertinggi adalah Rake Hino. Akan tetapi setelah Sri Jayabhaya wafat, Rake
Sirikan Sri Sarweswara naik tahta secara tidak sah. Sampai kemudian pada 23
Maret 1171M, berdasarkan prasasti Sapu Angin, yang menjadi raja Panjalu adalah
Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara setelah merebut tahta dari Sri Sarweswara.
Prasasti Sapu Angin ditemukan di Desa Geger, Penampihan, Tulungagung. Berisi
anugerah sima perdikan dari raja Panjalu Sri Aryeswara kepada desa Sapu Angin.
Dengan demikian, pada kurun ini, salah satu daerah di Tulungagung tercatat
dalam prasasti. Kiranya prasasti itu dikeluarkan setelah para penduduk Sapu
Angin membantu raja, memberikan pertolongan agung merebut tahta dari raja
Sarweswara.
Sri Aryeswara menurunkan Sri Kroncaryadhipa, sementara Sri Sarweswara
menurunkan Sri Kameswara dan Sri Kertajaya. Setelah Sri Aryeswara wafat, yang
menjadi raja Panjalu adalah Sri Kroncaryadhipa. Pada 19 Nopember 1181M, Sri
Kroncaryadhipa mengeluarkan prasasti Jaring dan mengambil gelar abhiseka Sri
Maharaja Sri Kroncaryadipa Bhuwanapalaka Parakrama Anindita Digjaya Uttunggadewa
Sri Gandra. Putra Sri Aryeswara ini hanya bertahta sekitar 4 tahun karena pada
11 September 1185M, berdasarkan prasasti Ceker, digantikan putra sulung Sri
Sarweswara yaitu Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikramawatara Aniwariwirya
Parakrama Digjaya Uttunggadewa.
Kameswara disebut dalam kakawin Smaradahana disetarakan sebagai Dewa Kama,
berpermaisuri Sasi Kirana, putri raja Jenggala. Dapat dikatakan pada 1185M
terjadi rekonsiliasi antara Panjalu dengan Jenggala. Itu dibuktikan dengan
berita perkawinan antara raja Panjalu Kameswara dengan putri Jenggala Sasi
Kirana. Pernikahan itu sama artinya dengan upaya perdamaian. Hanya dalam berita
babad Tanah Jawa dan beberapa karya sastra Jawakuna, Sri Kameswara disebut raja
Jenggala dan dikenal pula sebagai Panji Asmarabangun, sementara Sasi Kirana
disebut sebagai candra Kirana, putri raja Panjalu. Berita dalam cerita babad
ini bertentangan dengan catatan prasasti maupun Kitab Smaradahana yang ditulis
Mpu Dharmaja pada masa pemerintahan Sri Kameswara. Tetapi kisah percintaan
antara Panji Asmarabangun dengan Candra Kirana, putri raja Panjalu, bahkan
menjadi inspirasi cerita panji.
Meski demikian pernikahan itu tidak mampu menyetop permusuhan Panjalu dengan
Jenggala, terbukti ketika Sri Kertajaya naik tahta menggantikan Sri Kameswara,
peperangan kembali pecah. Sri Kertajaya adik Sri Kameswara. Ketika Sri
Kameswara wafat, seharusnya yang mendaki tahta di Daha adalah putra Sri
Kameswara dari Sasi Kirana. Cucu raja Jenggala yang berhak naik tahta Panjalu
Daha, bukannya Sri Kertajaya. Inilah yang membikin pihak Jenggala di Kutaraja
kecewa lalu menggempur Daha, karena menganggap Sri Kertajaya membuka kembali
pintu permusuhan. Raja Jenggala yang menggempur Panjalu Daha adalah Sri
Maharaja Girindra, ayah Sasi Kirana. Raja Jenggala ini disebut pula
sebagai Sang Girinata, raja yang menganut agama Siwa. Girindra maupun Girinata
artinya raja gunung, sebutan lain bagi Dewa Siwa. Selain memiliki putri bernama
Sasi Kirana, Sri Maharaja Girindra juga memiliki putra dari istri selir yang
dikenal Pararaton sebagai Ken Arok.
Panjalu Daha terdesak dan Senapati Tunggul Ametung mengungsikan sang raja
menuju Katang-Katang atau Kalangbrat, Tulungagung, tanah kelahiran sang
senapati. Pecahnya peperangan itu termuat dalam Prasasti Kamulan bertarikh 31
Agustus 1194M. Disebutkan dalam prasasti bahwa Raja Kertajaya tersingkir dari
istana Daha akibat serbuan musuh dari arah timur —penyerbuan itu terjadi
sekitar lima bulan sebelum keluarnya Prasasti Kamulan. Prasasti Kamulan menulis
tersingkirnya Sri Kertajaya dari istana Daha menuju Katang-Katang, Kalangbrat,
Kamulan: “…lagi kilala mwang kalasana decanya padapuran Cri maharaja tatkala
kentar sangke kadatwan ring Katang-Katang, deninkin malr yatik
kaprabhun Cri maharaja siniwi ring bhumi Kadiri…”.
Inilah saat dimana tokoh dari Katandan, Kalangbrat, Tulungagung, berperan besar
menjelang berdirinya negara kesatuan Tumapel atau Singasari. Dari sini pula
kelak lahir tokoh-tokoh besar seperti Anusapati, Mahisa Wonga Teleng,
Kertanagara, Raden Wijaya, Gayatri, Baginda Kertawardhana, yang kelak
bersemayam di Banarawa atau Tulungagung. Mengapa sebagian besar tokoh-tokoh itu
ke brang kidul, sejatinya karena ingin kembali ke tanah leluhur mereka. Tidak
berlebihan jika menyebut Tulungagung adalah tanah leluhur raja-raja Singasari
dan Majapahit! Kiranya akan menjadi kajian menarik. Apalagi mengetahui bahwa
kelak, Sri Kertanagara memiliki hubungan khusus dengan tokoh kelahiran
Penampihan. Bukan tidak mungkin permaisuri Kertanagara yaitu Sri Bajradewi kelahiran
Penampihan, putri Sang Hyang Sarwwa Dharma, sebagaimana terbaca dalam prasasti
Penampihan II bertarikh 1269, prasasti yang ternyata menjadi landasan penentuan
hari jadi Kabupaten Sumenep, lantaran tercantum nama Arya Ardharaja sebagai
adipati Sumenep. Kembali ke peristiwa tergusurnya Sri Kertajaya yang diungsikan
Senapati Tunggul Ametung.
Selama dalam pengungsian, Sri Kertajaya menjadikan daerah Kalangbrat sebagai
keraton sementara Panjalu. Bersama sisa pasukan dan para pendeta serta segenap
penduduk Kamulan, Senopati Tunggul Ametung giat menggalang kekuatan
merencanakan serangan balik. Maka setelah kekuatan terbangun kokoh, dengan
semangat memberi pertolongan agung kepada Sri Maharaja Kertajaya, Senapati
Tunggul Ametung menderapkan pasukannya ke timur dan berhasil menaklukkan
kerajaan yang menganut agama Siwa di timur gunung Kawi itu. Raja Jenggala Sang
Girinata tersingkir dari Kutaraja bersama sisa pengikutnya.
Sri Kertajaya kembali ke keraton Daha, meneruskan kepemimpinannya sebagai
Maharaja Panjalu, berupaya mengembalikan ketentraman dan ketertiban negara.
Kebijakan penting pertama yaitu menetapkan daerah bekas pusat pemerintahan
Janggala di Kutaraja sebagai kadipaten amancanagara Tumapel. Ibukota Tumapel
tetap di Kutaraja. Senapati Tunggul Ametung sebagai penguasa pertama Tumapel.
Kebijakan raja ini sebagai penghargaan pada Tunggul Ametung, tokoh kelahiran
Kalangbrat, Tulungagung, yang secara gemilang menunaikan tugas negara,
mengembalikan tahta Raja. Raja Kertajaya juga menetapkan daerah Kamulan sewilayahnya
sebagai daerah perdikan atau swatantra, daerah istimewa yang dibebaskan dari
segala pungutan pajak, daerah merdeka berpemerintahan sendiri yang kedudukannya
langsung di bawah kekuasaan raja. Penganugerahan itu tertuang dalam piagam
kerajaan yang kelak bernama Prasasti Kamulan, 31 Agustus 1194M —tanggal
prasasti ini kelak menjadi pedoman hari jadi kabupaten Trenggalek. Pada 20
April 1200M, Sri Kertajaya penganugerahan sima perdikan kepada Desa Panjer,
termuat dalam Piagam kerajaan bernama Prasasti Galunggung. Desa panjer sekarang
bernama Panjerejo, Rejotangan, Tulungagung.
Pada saat Sri Girindra tersingkir dari istana, Ken Arok berusia sekitar 12
tahun. Setelah dewasa, mengetahui sejarah Jenggala, mengetahui ayahnya
tersingkir dari istana akibat serbuan Senapati Agung Tunggul Ametung. Setelah
bertemu Pendeta Lohgawe, ia bertekad membalas kekalahan ayahnya.
Maka terdorong keinginan kuat menjadi maharaja di tanah Jawa, setelah segala
siasat dirancang matang, Ken Arok segera saja melancarkan aksinya,
menyingkirkan batu sandungan pertama, memusnahkan pemegang kekuasaan di
Tumapel, Adipati Tunggul Ametung. Ken Arok mulai memimpin Tumapel pada usia 21
tahun. Usia yang mengandung semangat besar menggelora. Usia yang dipenuhi sikap
berani menerjang segala apa. Ken Arok adalah penguasa muda yang sedang
bercita-cita membangkitkan kembali Jenggala dari puing-puing keruntuhan. Pada
awalnya masih berposisi sebagai penguasa kadipaten Tumapel, tetapi kemudian
setelah cukup dukungan dari para pengikut maupun para pandita Siwa dan Boddha,
pada awal tahun 1205M, Ken Arok memisahkan diri dari Panjalu, menjadi penguasa
Tumapel yang merdeka dan mengambil gelar abhiseka Sri Ranggah Rajasa Sang
Amurwabhumi.
Beberapa bulan kemudian, atau pada pertengahan tahun 1205M, Ranggah Rajasa
mengadakan serangan pertama ke Panjalu. Raja Kertajaya terpaksa menyingkir ke
selatan Brantas dan mendapat perlindungan seluruh penduduk desa Lawadan di
selatan Wajak. Sampai akhirnya Sri Kertajaya berhasil menduduki singgasana di
istana Daha setelah penduduk Lawadan memukul pasukan Ranggah Rajasa. Sebagai
balas jasa atas segala pertolongan agung itu, Raja Kertajaya menganugerahi
Lawadan sebagai daerah sima perdikan kerajaan. Prasasti tertanggal 18 Nopember
1205M itu, sejak 2003M menjadi dasar penentuan hari jadi Kabupaten Tulungagung.
Meski serbuan pertama gagal menjungkalkan raja Kertajaya, Ranggah Rajasa tidak
menghentikan upayanya menaklukkan Panjalu. Tumapel mengokohkan kekuatan di
timur gunung Kawi, menaklukkan beberapa kerajaan yang dulu pernah menjadi
bawahan Jenggala, seperti Lumajang, Lewa, Hering atau Pamotan, dan Madura.
Satu-satu kerajaan-kerajaan kecil itu berhasil ditaklukkan Ranggah Rajasa,
diseret dalam naungan kekuasaan Tumapel.
Hingga kemudian pasukan Siwa dan Boddha pimpinan Ranggah Rajasa Sang
Amurwabhumi bergerak bagai banjir bandang melintasi pegunungan Kawi,
menyeberangi sungai Leksa, berderap di utara sungai Brantas, dan di padang
Ganter atau Nganteru, di selatan ibukota Daha, bertemu pasukan Panjalu yang
menganut Wisnu. Pasukan besar Tumapel mendesak mundur kekuatan Panjalu. Istana
Daha jatuh ke tangan Ranggah Rajasa sang putra Girinata. Raja Kertajaya beserta
beberapa anggota keluarga dan sisa pengikutnya menyingkir ke Kamulan, tempat
parahiyangan atau pertapaan di lereng gunung Wilis. Maka sejak 1222M, Panjalu
menjadi bagian Tumapel.
Tulungagung pada masa Tumapel atau Singasari
SETELAH Ranggah Rajasa wafat, Tumapel pecah menjadi Panjalu dan Jenggala.
Panjalu ditempati Mahisa Wonga Teleng dan Jenggala ditempati Anusapati.
Anusapati dan Mahisa Wonga Teleng hidup rukun memimpin kerajaannya
masing-masing, tanpa keinginan menaklukkan satu sama lain. Keadaan tenteram
tersebut tidak lepas dari peran sang ibu suri Ken Dedes. Bagaimanapun,
Anusapati dan Mahisa Wonga Teleng adalah putra kandung Ken Dedes. Untuk lebih
menguatkan hubungan kekeluargaan, pada sekitar 1240M, Ken Dedes meminta kedua
putranya berbesanan. Pada waktu itu Anusapati memiliki putra bernama
Seminingrat dan putri bernama Seruni. Sementara Mahisa Wonga Teleng menurunkan
Waning Hyun dan Mahisa Cempaka. Setelah menyetujui kehendak ibunya, Anusapati
dan Mahisa Wonga Teleng menikahkan Waning Hyun dengan Seminingrat, dan
perkawinan ini menurunkan Kertanagara, Turukbali, dan Cakreswara —Cakreswara
menurunkan Cakradara alias Baginda Kertawardhana, ayah Raja Majapahit Hayam
Wuruk. Setelah wafat, Baginda Kertawardhana didarmakan di Waringin Pitu,
Tulungagung.
Peran Tulungagung pada masa Tumapel atau Singasari, terutama sebagai daerah
leluhur Singasari yang dihormati pihak keraton, utamanya keturunan Ken Dedes,
baik dari Ken Arok maupun Tunggul Ametung. Berdasarkan pembacaan prasasti Mula
Malurung, Tunggul Ametung didarmakan di Pager atau Pagerwojo, dengan candi
bernama Narasingajaya. Kemudian Mahisa Wonga Teleng, setelah wafat didarmakan
di Kalangbrat. Berdasarkan pembacaan serat Pararaton, Tohjaya, raja Daha, putra
Ken Arok dari Ken Umang, didarmakan di Katang Lumbang, daerah Kalangbrat.
Setelah menjadi raja Singasari, Kertanagara juga memiliki hubungan batin sangat
erat dengan tokoh Penampihan, Sang Hyang Sarwwa Dharma. Tokoh ini yang pada
1269M mendapat anugerah sima perdikan dari Sri Kertanagara, tercatat dalam
prasasti Penampihan II. Dalam prasasti ini menyebutkan daerah Penampihan yang
dikuasai Sang Hyang Sarwwa Dharma, tidak lagi menjadi bagian wilayah Lawadan.
Tulungagung pada masa Majapahit
KERTANAGARA dan permaisuri Bajradewi memiliki enam putri. Empat disunting Raden
Wijaya yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi dan Gayatri. Seorang
diistri Ardharaja dan seorang lagi menjadi permaisuri raja Cempa Singhawarman.
Setelah Majapahit berdiri, putra Cakreswara yang bernama Cakradara atau Baginda
Kertawardhana menikahi putri sulung Dyah Gayatri bernama Dyah Gitarja.
Nama-nama daerah di Tulungagung pada masa Majapahit ditemukan dalam beberapa
sumber sejarah diantaranya kakawin Decawarnana, prasasti Trawulan I, dan
prasasti Waringin Pitu. Dalam kakawin Decawarnanna, tercantum nama Bhayalangu
dan Kalangbrat. Dua nama ini menempati kedudukan terhormat sebagai daerah suci,
tempat pendarmaan keluarga raja. Pada prasasti Trawulan bertarikh 1358M, yang
berisi peraturan hukum penyeberangan sungai, tercantum nama Waringin Pitu dan
Madanten atau Majan. Dalam prasasti Waringin Pitu bertarikh 1447M tercantum
nama-nama seperti Kepuh, Pakambingan Sumbergempol, dan nama Bhayalangu serta
Waringin Pitu.
Pendiri Majapahit, Raden Wijaya, didarmakan di Simping sebagai Siwa dengan arca
harihara. Sekarang Simping termasuk wilayah Blitar. Tetapi pada masalalu
merupakan wilayah brang kidul atau Tulungagung. Pendiri Majapahit didarmakan di
Tulungagung bukan tanpa alasan. Tanah Banarawa ini merupakan tanah leluhur
raja-raja Singhasari. Sehingga kemudian sang Ratu Gayatri juga membangun pusat
kekuasaan di daerah Junjung, dan setelah wafat didarmakan di Bhayalangu, di
daerah kelahiran kakek moyangnya, Tunggul Ametung. Sangat jelas dinyatakan
dalam kakawin Decawarnana bahwa Bhayalangu merupakan tempat suci yang menduduki
posisi terhormat di mata Majapahit.
Yang mencengangkan berita pada prasasti Waringin Pitu bertarikh 1447M yang
dikeluarkan Baginda Prabhu Kertawijaya, raja Majapahit ketujuh. Dalam prasasti
ini tertulis nama Mahapatih Gajah Geger. Tokoh ini memang berasal dari Desa
Geger Penampihan, Tulungagung. Prasasti ini berisi penetapan anugerah sima
perdikan kerajaan kepada Waringin Pitu, tempat pendarmaan Batara Parameswara
atau Baginda Kertawardhana, ayahanda Sri Hayam Wuruk.
Peninggalan sejarah sebagai inspirasi kebudayaan
TELAH kita ketahui bahwa Tulungagung hidup bersama dengan kerajaan Medang
Mataram, Medang Jawatimur, Panjalu, Janggala, Singasari, dan Majapahit. Selama
kurun itu, banyak peninggalan sejarah, terutama bangunan candi-candi beserta
pernak-perniknya, tersebar di sepenjuru Tulungagung. beberapa masih dapat kita
saksikan sekarang, seperti candi Penampihan, candi Dadi, candi Mirigambar,
candi Sanggrahan, candi Gayatri, goa Pasir, Goa Selomangleng, dan masih banyak
lagi. Meski tidak sebesar Borobudur atau Prambanan, atau keraton Yogyakarta,
setidaknya sejarah panjang Tulungagung belum sepenuhnya tenggelam.
Ayu Sutarto telah memetakan Jawatimur menjadi sepuluh subkultur, yaitu Jawa
Mataraman, Jawa Panaragan, Samin atau sedulur sikep, Tengger, Osing,
Pendulungan, Madura Pulau, Madura bawean, Madura Kangean, dan budaya Arek.
Tulungagung termasuk dalam subkultur Jawa Mataraman. Budaya Mataraman secara
verbal tampil di masyarakat Pacitan, Ponorogo, Madiun, Magetan, Ngawi, Nganjuk,
Trenggalek, Tulungagung, sebagian Kediri, dan Blitar. Rata-rata masyarakat ini
menganut agama Islam yang dipadukan dengan tradisi Jawa. Namun secara umum,
budaya Jawa Mataraman menyebar luas di sepenjuru Jawatimur, boleh dibilang
mendominasi cara pandang dan tata nilai masyarakatnya.
Bentuk seni masyarakat yang berbudaya Mataraman tidak jauh beda dengan hasil
kesenian yang ada di tanah asalnya, Yogyakarta dan Surakarta, semisal ketoprak,
wayang, tari-tarian bedaya, maupun sastra seperti serat dan babad yang sangat
mengagungkan tradisi Jawa-Islam. Meski demikian memang terdapat beberapa
perbedaan mendasar antara bentuk seni budaya Mataraman di Jawatimur dengan di
Yogyakarta atau Surakarta. Ini terjadi lantaran posisi Yogyakarta dan Surakarta
sebagai pusat kerajaan, sementara Jawatimur termasuk Tulungagung, sebagai
daerah pinggiran, jauh dari keraton. Semisal wayang Yogyakarta dan Surakarta
dikenal menggunakan bahasa lebih halus ketimbang wayang Jawatimuran atau
Tulungagungan. Prosesi ritual larung sesaji di Tulungagung atau di pantai
Popoh, juga beda dengan yang dilakukan di Parangtritis, Yogyakarta.
Bahkan ada pula bentuk-bentuk kesenian khas, muncul di wilayah Mataraman
Jawatimur, tetapi tidak ada di Yogyakarta atau keraton. Tulungagung memiliki
bentuk kesenian khas ini, yaitu jaranan kendang dan reog kendang Tulungagung.
Begitu juga tradisi cerita Panji yang berkembang di Jawatimur, termasuk
Tulungagung, tidak tumbuh di Yogyakarta atau Surakarta. Itu karena cerita Panji
terinspirasi sejarah kerajaan Panjalu dan Jenggala, dua kerajaan yang lebih
dulu lahir ketimbang Mataram Islam.
Yang menarik, Ponorogo. Meski tergolong berbudaya Mataraman, tetapi
masyarakatnya lebih menyukai reog, ketimbang ketoprak dan tayub, beda dengan
daerah mataraman lain, seperti Tulungagung yang, selain memiliki kesenian khas
reog kendang, juga masih dekat dengan ketoprak, tayub, atau wayang. Pola
masyarakat Ponorogo memang mirip dengan masyarakat yang berbudaya Mataraman,
akan tetapi memiliki ciri khas tertentu yang tidak dimiliki kawan-kawannya.
Salah satu ciri khas seni budaya Ponorogo adalah kesenian reog Ponorogo.
Kesenian ini terinspirasi cerita legenda sejarah tokoh Demang Ki Ageng Kutu
Suryangalam yang ingin menyindir raja Majapahit Brawijaya V, yang pada waktu
itu dianggap melalaikan kewajiban sebagai raja, terlalu dikendalikan
permaisurinya yang menganut Islam. Kemudian sang demang membuat barongan dari
kulit macan gembong yang ditunggangi burung merak. Sang prabhu dilambangkan
sebagai macan, dan permaisurinya sebagai merak. Tampilnya kesenian reog
Ponorogo membuktikan bahwa peristiwa sejarah dapat menginspirasi seni dan budaya,
membangkitkan daya cipta masyarakatnya.
Begitu pula dengan Tulungagung. Beberapa peristiwa sejarah menginspirasi daya
cipta masyarakatnya, memunculkan kesenian seperti reog kendang dan jaranan
kendang Tulungagung. Reog kendang Tulungagung sekarang sudah mendapat hak
paten, sudah menjadi milik Tulungagung, sehingga Malaysia tidak mungkin
mengklaimnya, sebagaimana dulu dialami reog Ponorogo. Reog kendang Tulungagung
mengambil inspirasi dari peristiwa yang diyakini sebagai sejarah, yaitu ketika
Dewi Kilisuci, putri sulung Erlangga disunting seorang raja dari Makasar.
Sementara tari Jaranan terinspirasi peristiwa ketika putri sulung Rajapatni,
Dyah Gitarja atau Tribhuwanatunggadewi, menyingkir ke daerah Sendang atau
gunung Wilis.
Sekali lagi sejarah mampu menginspirasi seni dan budaya. Tapi tidak cuma
berbakat menjadi kesenian pertunjukan. Pernak-pernik peninggalan sejarah di
Tulungagung baik cerita sejarah, cerita legenda sejarah, maupun candi dan
relief hiasannya, dapat pula menjadi bahan inspirasi dunia industri kreatif,
seperti penerbitan buku dam percetakan, desain sandang maupun grafis,
arsitektur, filem, musik, kerajinan, maupun permainan interaktif. Tinggal
bagaimana mengolah dan mengemasnya. Ekonomi kreatif adalah perkara bagaimana
mengolah dan mengemas sesuatu menjadi bernilai jual tinggi.
Dan sekali lagi Tulungagung memiliki keberagaman budaya, keberagaman daya
cipta. Harus cerdas dan kreatif mengelolanya. Jangan sampai warisan sejarah
budaya luhung Tulungagung tenggelam tanpa jejak, menjadi romantisme masalampau
yang tidak membawa manfaat dalam perjuangan menarungi peradaban abad digital,
sekarang dan mendatang.
* * *
Tulisan sederhana ini pernah menjadi bahan diskusi pada Sarasehan Budaya dan
Ekonomi Lokal yang diselenggarakan oleh BEM STAI DIPONEGORO Tulungagung, Rabu 8
Mei 2013 di auditorium STAI Diponegoro Tulungagung. Judulnya Tulungagung
Sebagai Pusat Budaya.
Tentunya masih banyak kelemahan atau masih banyak yang perli dibaca ulang.
* * *
Bahan: Muhammad Yamin, Tatanegara Majapahit, yayasan Prapanca, Jakarta, 1962.
Slamet Muljana: Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya Slamet Muljana.
Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara. 1979.
____________Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit, Yogyakarta,
LKIS, cetakan pertama. 2005.
Majalah Seni dan Budaya KIDUNG. Edisi 14 2009. DKJ.
Siwi S

Tidak ada komentar:
Posting Komentar