Minggu, 29 November 2020

PENDIDIKAN KARAKTER BERNUANSA ISLAMI SEBAGAI FILTER INFORMASI DI ERA KEBEBASAN INFORMASI

 

PENDIDIKAN KARAKTER BERNUANSA ISLAMI SEBAGAI FILTER INFORMASI DI ERA KEBEBASAN INFORMASI

(ISLAMIC CHARACTER EDUCATION AS AN INFORMATION FILTER IN FREEDOM INFORMATION ERA)

Oleh: Fikri Imanullah



***

ABSTRACT

In the early of 21st century there has been a surprisingly develop on information. Social media has huge influence on human life in this modern period. As the development of science and technology, there has been many new inventions particularly in communication and information as well as in forms of goods like smartphone and tablet, or in forms of social media applications such as whatsapp, twitter, BBM, instagram and many others which is successing the freedom of information period. Despite the fact that the freedom of information has benefit, it also has many drawbacks that influence young generation in terms of their character. Hence, Islamic character education appears as an information filter to protect the young generation consequently. They will use those information in good way as well as away form bad things that might be occurred because of unfilter information.

Keywords: Islamic character education, an information filter, freedom information of

 

Sejarah mencatat bahwa perkembangan teknologi di Indonesia begitu melesat cepat, terkhusus pada dunia informatika dan komunikasi. Terbukti pada pertengahan abad 20 pasca kemerdekaan Indonesia hingga akhir orde baru, masih sangat jarang ditemukan alat-alat komunikasi berbasis teknologi. Katakanlah televisi sebagai salah satu media informatika kala itu, mungkin dalam satu daerah terutama pedesaan hanya satu atau dua orang saja yang memilikinya. Itupun orang yang mempunyai kedudukan terpandang misalnya sebagai pegawai pemerintah atau kepala desa. Penyampaian berita jarak jauh pun masih menggunakan sistem surat menyurat melalui layanan POS, telegram ataupun telepon duduk. 

Namun seiring  perkembangan zaman, juga pengaruh arus globalisasi yang kian merambah dan menyebar dengan begitu cepat, sehingga pada permulaan abad 21 ini telah terjadi perubahan besar-besaran tekait dengan alat komunikasi dan informatika. Mulai dari HP merk jadul yang hanya bisa SMS dan telepon (Call) hingga saat ini muncul berbagai macam type HP smartphone, tablet dan lain sebagainya yang dilengkapi layanan aplikasi-aplikasi untuk mengakses informasi secara luas dan bebas melalui dunia internet. Hal ini tidak lain merupakan salah satu efek yang timbul dari revolusi industri yang terjadi di negara-negara barat.

Hegemoni Barat dalam kemajuan telekomunikasi tak diragukan lagi sarat dengan nilai-nilai tertentu, seperti ucapan terkenal ahli komunikasi Marshall McLuhan: “Medium is the message” melalui program inilah terjadi ekspansi  dan penetrasi nilai-nilai semacam “keserbalonggaran” (permissiveness) hubungan antara laki-laki dan perempuan, kehidupan yang serba materialistik dan hedonistik, atau kultur kekerasan, yang tidak semuanya cocok dengan nilai-nilai budaya dan agama masyarakat Indonesia.[1]

Dengan melihat fenomena-fenomena tersebut, muncullah pertanyaan bagaimana peran pendidikan karakter dalam Islam dalam membentengi masyarakat, khususnya peserta didik dari pengaruhpengaruh negatif kebebasan informasi? Langkah apa yang ditawarkan pendidikan Islam untuk memfilter informasi-informasi yang beredar di sosial media? Dan bagaimana pelajar berperan dalam menangkal hoax yang sering beredar di sosial media?

1.      ERA KEBEBASAN INFORMASI

Sejak berakhirnya rezim orde baru, di Indonesia terjadi suatu perubahan yang cukup signifikan, mulai dari sistem pemerintahan yang otoriter sentral menjadi lebih demokratis desentral. Hingga terkait informasi pun yang awal mulanya begitu ketat dan tertutup serta tidak setiap individu dapat dengan mudah mengakses ataupun menyebarkan berita/informasi. Sejak beralihnya ke masa reformasi, hak untuk memperoleh dan menyebarkan berita/informasi berubah menjadi suatu kebebasan atas nama Hak Asasi Manusia (HAM) bagi setiap warga. Menurut A. Patra M. Zen, hak untuk informasi selain merupakan bagian dari hak sipil dan politik, namun juga terkait erat dengan pemenuhan hak asasi lainnya, termasuk hak ekonomi, sosial dan budaya. Ini tercermin dari pasal 17 konvensi hak-hak anak yang merumuskan betapa pentingnya untuk dijamin negara, hak atas informasi, khususnya dalam rangka mewujudkan standar kesehatan yang tinggi bagi anak dan remaja.[2]

Kebebasan informasi sebenarnya juga telah dilegitimasi UUD 1945, yang mana pada masa reformasi mengalami perubahan sebanyak 4 kali yaitu tahun 1999, 2000, 2001, 2002. Salah satu muatannya adalah penegasan eksistensi hak asasi manusia secara komprehensif termasuk hak atas kebebasan memperoleh informasi publik. Hal ini tertuang pada Pasal 28 F yang berbunyi:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

 

Dengan demikian kebebasan terkait informasi telah digaungkan sebagai hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya anak bangsa. Namun pada kenyataannya, kebebasan yang diberikan oleh negara dengan tujuan kebaikan ini tidak selamanya digunakan sebagaimana mestinya, ada saja pihak-pihak yang menyalahgunakan kesempatan hanya untuk kepentingan-kepentingan individu/kelompok. Mereka sudah terpengaruh dengan arus globalisasi yang terjadi di dunia barat beserta ideologi-ideologinya yang kapitalisme, materialisme, naturalisme, pragmatisme, liberalisme dan lain sebagainya. Oleh karena itu di era kebebasan informasi ini, media sosial khususnya tidak selamanya berdampak positif bagi kehidupan manusia khususnya bagi warga negara Indonesia, hal ini dikarenakan informasi yang ada di dalamnya baik itu berita, fakta, prasangka, gosip bahkan fitnah bercampur aduk jadi satu. Banyak kasus-kasus kriminal, kekerasan, tawuran, perkelahian yang ditimbulkan hanya bermula dari informasi yang ada di media sosial.

2.      PANDANGAN ISLAM TERHADAP INFORMASI

Terkait informasi, Islam telah memberikan solusi yang tepat kepada umatnya agar tidak terjerumus dalam kenistaan akibat sebuah informasi/berita yang tidak jelas arah tujuannya.

a.      Tabayyun

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk tidak gegabah dalam menerima, membaca, maupun mendengar suatu informasi. Seseorang yang mendapatkan suatu informasi harus meyakinkan kepada dirinya bahwa informasi yang ia dapat merupakan suatu kebenaran bukan kebohongan. Bagaimana ia dapat mengetahui benar tidaknya informasi tersebut?. 

Langkah konkret yang harus dilakukan oleh penerima informasi/berita adalah untuk ber-tabayyun (konfirmasi), men-check dan re-check dahulu asal muasal berita/informasi tersebut kepada orang yang lebih mengetahui dalam hal terkait, atau jika memungkinkan mengkonfirmasi pihak/instansi yang tercantum lebih utama. Dalam al-Qur’an telah ditegaskan dalam hal meng-cek kebenaran suatu informasi/berita:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 06)

Maka sebelum anda mempercayai suatu berita ataupun menyebarkannya kepada yang lain, seyogyanya untuk memastikan terlebih dahulu status informasi tersebut. Suatu berita/informasi tidak jarang di dalamnya memuat prasangka atau yang sering disebut dengan zhan.

Islam mengajarkan untuk berhati-hati terhadap zhan (prasangka), karena suatu prasangka ‘membicarakan orang lain’ jika itu benar berarti ia masuk dalam ghibah, namun jika ternyata itu salah akan masuk dalam kategori fitnah. Keduanya tidaklah dibenarkan dalam Islam, baik itu ghibah terlebih fitnah. Dalam bahasa Inggris zhan disebut “pre judice” yang berarti menghukumi seseorang/sesuatu sebelum mengetahui secara pasti apa yang sebenarnya.

b.      Bicara yang baik atau diam

Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menjaga lisannya. Tak terlepas kaitannya dengan informasi, seseorang hendaknya memikirkan beribu-ribu kali sebelum menyebarkan suatu informasi/berita. Dalam hal ini tidak dapat diartikan secara sempit berita/informasi yang keluar dari lisan, namun tulisan juga berperan sebagai lisan bahkan gaya tulisan bisa lebih tajam pengaruhnya bagi para pembaca.

Maka sebagaimana disebutkan di atas, seseorang hendaknya tidak mudah-mudah men-share/menyebarkan informasi yang ia terima, terlebih informasi-informasi yang mempunyai karakteristik provokasi. Islam sangat tegas dalam kaitannya penyebaran informasi, bahkan orang yang begitu mudah menyebarkan setiap informasi yang ia terima tanpa menelusuri kebenarannya, cukup dan patut dicurigai sebagai orang yang pendusta.

“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Cukuplah seseorang (dicurigai) sebagai pendusta, apabila ia mengabarkan/menyebarluaskan setiap apa yang ia dengar (tanpa menelusuri kebenarannya).”(HR. Muslim, No: 05)[3]

 

3.      PENDIDIKAN KARAKTER ISLAM SEBAGAI FILTER INFORMASI

Secara teoritis pendidikan diartikan sebagai pemikiran manusia terhadap masalah-masalah kependidikan dalam memecahkan dan menyusun teori-teori baru dengan mendasarkan kepada pemikiran normatif, spekultaif, rasional empirik, rasional filosofis, maupun historis filosofis. Adapun secara praktik, pendidikan merupakan suatu proses pemindahan atau transformasi pengetahuan ataupun pengembangan potensi-potensi yang dimiliki subyek didik untuk mencapai perkembangan secara optimal, serta membudayakan manusia melalui transformasi nilai-nilai yang utama.

Menurut M Noor Syam bahwa pendidikan merupakan aktifitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadi, yakni rohani (pola fikir, cipta, rasa, karsa, budi nurani) dan jasmani (panca indera dan keterampilan).[4]

Dalam konteks Islam, Dr. Ahmad D. Marimba memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.

Hasan langgulung di dalam bukunya Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke 21 menyatakan bahwa, “masyarakat saleh adalah masyarakat yang percaya bahwa ia mempunyai risalah (message) untuk umat manusia, yaitu risalah keadilan, kebenaran, dan kebaikan, suatu risalah yang akan kekal selama-lamanya, tidak terpengaruh oleh faktor-faktor waktu dan tempat. Firman Allah: “ Kamu adalah umat terbaik yang pernah diutus bagi umat manusia, sebab kamu mengajar kepada kebaikan dan melarang dari kejahatan”. (Qs. 3:110).”[5]

Pendidikan Islam mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai karakter ke-Islaman dan akhlaq yang baik kepada peserta didik baik dalam hal hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya, maupun manusia dengan alam lingkungannya. Pendidikan Islam mengajarkan kejujuran, kedamaian, serta kerukunan saling menghargai dan menghormati, menjauhkan sifat suka berprasangka terhadap orang lain dan lain sebagainya. Hal ini bertujuan untuk memberikan pondasi serta tameng yang kuat kepada peserta didik agar tidak mudah terbawa dan terpengaruh oleh arus globalisasi khususnya terkait kebebasan informasi. Pendidikan Islam juga mengajarkan batas aurat, serta hak dan kewajiban Muslim yang menginjak dewasa atau baligh dan mukallaf, untuk membentengi peserta didik dari arus globalisasi yang mana marak dimuatnya pornografi dan pornoaksi dalam media massa baik itu media cetak terlebih elektronika seperti televisi dan internet.

Dunia remaja menjadi fokus masalah dalam pendidikan Islam kontemporer, karena remaja menjadi sasaran empuk bagi para perusak moral yang hanya mementingkan keuntungan pribadi, di samping itu juga dalam berbagai tindak kriminal yang muncul, pelaku utama dan korban paling banyak adalah remaja itu sendiri. Di dalam bukunya Nalar Spiritual Pendidikan, Abdul Munir Mulkan menyatakan bahwa, “daya pesona dan fitalitas di satu sisi serta kebelumjadian dirinya membuat remaja melihat dirinya berada dalam dua dunia citra dengan realitas dan sosialnya. Psikolog sering melukiskan dilemma ini sebagai fenomena dan momen krisis jati diri. Tampaklah dunia remaja yang serba tanggung dan membuatnya mudah dipengaruhi hal-hal serba baru yang ditayangkan dunia citra iklan.[6]

Arah perkembangan hidup IPTEK yang terus melaju, harus dipandang sebagai tantangan pendidikan Islam yang penuh resiko, oleh karena itu perlu ditanggulangi dengan perencanaan kegiatan kependidikan yang berstrategi pada wawasan sesuai dengan aspirasi agama Islam yang diturunkan Allah untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.

Dalam konteks pendidikan Islam untuk merespon berbagai tantangan yang sekaligus peluang tersebut pendidikan Islam, diperlukan sebuah paradigma yang jelas baik secara konseptual atau pun pelaksanaan praktis di lapangan. Tentunya untuk merealisasikan idealitas tersebut dibutuhkan kerjasama dan sinergitas antara seluruh komponen pendidikan Islam, sehingga dalam menghadapi arus globalisasi pendidikan Islam akan tetap memberikan respon positif dan tetap mempertahankan karakter yang dimilikinya dalam rangka membantu memberikan kontribusi penyelesaian problem yang dihadapi masyarakat global.[7]

4.      HOAX COMMUNICATION INTERACTIVITY IN SOCIAL MEDIA AND ANTICIPATION

Gambaran terkait berita Hoax ternyata diproduksi untuk merugikan pihak-pihak tertentu dengan penuh kebencian dan permusuhan. Hoax yang disebar luas dan berulang-ulang yang menggambarkan bahwa dapat membentuk opini publik masyarakat yang tidak baik. Medium yang digunakan pada kasus hoax salah satunya jaringan sosial yang mana terbentuk karena adanya kesamaan tujuan pengirim maupun penerima pesan, baik untuk menjelek-jelekkan salah satu pihak maupun sebaliknya yaitu direspon sebagai pembelaan objek hoax. Sementara karakteristik sosial yang terbangun di dalamnya adalah membentuk jaringan diantara penggunanya, baik saling mengenal, maupun tidak, namun dipertemukan dalam sebuah kesamaan karakteristik sosial.

Pesan yang saling dipertukarkan antara pengguna (pengguna dan penerima) adalah pesan hoax dalam bentuk berita, informasi ataupun gambar yang diganti baik kata-kata maupun keterangan gambarnya yang tidak sesuai dengan berita asli. Produksi konetan hoax sepenuhnya merupakan kemampuan pengguna baik menciptakan, merubah, memodifikasi, hingga menyebarkan melalui media social. Hal ini ikut diperparah dengan kondisi masyarakat Indonesia yang dengan mudah percaya begitu saja dengan berita yang beredar. Ini juga dikarenakan hoax diproduksi seolah-olah dari situs berita ternama seperti kompas.com dan situs luar negeri, sehingga ikut menimbulkan rasa percaya masyarakat terhadap berita tersebut.

Ada tiga pendekatan penting yang diperlukan untuk mengantisipasi penyebaran berita hoax di masyarakat yaitu pendekatan kelembagaan, dengan terus menggalakkan komunitas anti hoax. Dari sisi pendekatan teknologi, dengan aplikasi hoax cheker yang bisa digunakan oleh masyarakat untuk mengecek kebenaran berita yang berindikasi hoax. Pendekatan literasi, dengan gerakan anti berita hoax maupun sosialisasi kepada masyarakat mulai dari sekolah hingga masyarakat umum yang ditingkatkan dan digalakkan, bukan saja oleh pemerintah tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk institusi-institusi non pemerintah lainnya.

Ditujukan pula rekomendasi kepada Kementerian Kominfo untuk membentuk badan independen yang melakukan pengecekan apakah berita tersebut bersifat hoax atau tidak. Badan tersebut sekaligus mengelola aplikasi pengecekan hoax yang terakses ke seluruh media online, mengaktifkan cyber GPR untuk share informasi melawan berita hoax di setiap instansi pemerintah pusat hingga tingkat daerah, meminimalisir keberadaan akun anonym dengan cara verifikasi akun digital menggunakan identitas asli masyarakat Indonesia terutama pada website atau layanan internet dengan lalu lintas data yang tinggi. Semua institusi, baik pemerintah maupun swasta disarankan untuk terus meningkatan upaya kampanye anti hoax dan mendukung konten-konten positif bagi masyarakat. Usaha lain yang dapat ditempuh adalah mengupayakan literasi digital bagi pelajar dan masyarakat umum secara berkesinambungan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa era kebebasan informasi merupakan suatu tantangan baru bagi kehidupan manusia pada abad 21 ini. Dunia semakin terbuka dan terang-terangan dalam segalanya. Manusia jika tidak dibekali pondasi kepribadian dan akhlaq yang kuat akan sangat mudah terbawa dan terombang-ambing oleh arus globalisasi dunia. Permusuhan dimana-mana, tindak kriminal, kekerasan merajalela, bahkan pornografi dan pornoaksi berada sangat dekat dengan mata.

Pada situasi yang krisis moral dan spiritual ini, pendidikan karakter Islam diharapkan mampu membentengi para peserta didik dalam menghadapi tantangan zaman ini, dengan menanamkan karakter dan nilai-nilai mulia ajaran Islam. Terkait informasi yang bebas, Islam mengajarkan beberapa hal:

1.      Ber-tabayyun (konfirmasi) terhadap kebenaran suatu berita, sehingga tidak mudah terprovokasi dan diadu domba.

2.      Jika telah diketahui asalnya, perlu ditinjau apakah informasi tersebut sesuai dengan fakta ataukah hanya sekedar prasangka?

3.      Memikirkan kembali apakah informasi tersebut perlu disebarkan kembali ataukah tidak? Dan jika disebarkan kembali mana yang lebih banyak antara manfaat ataukah justru menimbulkan permusuhan yang tak diinginkan?

Dengan langkah tersebut, diharapkan masyarakat terlebih peserta didik, dapat memfilter (memilah-milah) terhadap informasi yang ia dapatkan, sehingga tidak mudah terprovokasi atas apa yang ia dengar, lihat di media sosial sebelum ia benar-benar menge-cek kebenaran informasi tersebut.



[1] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu. 1999) hlm. 44

[2] R. Muhammad Mihradi, Kebebasan Informasi Publik Versus Rahasia Negara, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 25

[3] Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairy an-Nisabury, Shahih Muslim, Tahqiq: Muhammad Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Daar Ihya at-Turats al-‘Araby), Jilid I, hlm. 10

[4] Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer.(Bandung: PT Refika Aditama, 2009), hlm. 1

[5] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21. (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988),  hlm. 139

[6] Abdul Munir Mulkan, Nalar spiritual Pendidikan. (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2002), hlm. 53

[7] Musthofa Rembangy, “Pendidikan Islam dalam Formasi Sosial Globalisasi” dalam Imam Machali dan Mustofa, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta: Presma Fak. Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga dan Ar-Ruzz Media, 2004), hlm. 148-149

Tidak ada komentar: