PENDIDIKAN KARAKTER BERNUANSA ISLAMI SEBAGAI FILTER INFORMASI DI
ERA KEBEBASAN INFORMASI
(ISLAMIC CHARACTER EDUCATION AS AN INFORMATION FILTER IN FREEDOM
INFORMATION ERA)
Oleh: Fikri Imanullah
***
ABSTRACT
In the early of 21st century there
has been a surprisingly develop on information. Social media has huge influence
on human life in this modern period. As the development of science and
technology, there has been many new inventions particularly in communication
and information as well as in forms of goods like smartphone and tablet, or in
forms of social media applications such as whatsapp, twitter, BBM, instagram
and many others which is successing the freedom of information period. Despite
the fact that the freedom of information has benefit, it also has many
drawbacks that influence young generation in terms of their character. Hence,
Islamic character education appears as an information filter to protect the
young generation consequently. They will use those information in good way as
well as away form bad things that might be occurred because of unfilter
information.
Keywords: Islamic character education, an
information filter, freedom information of
Sejarah mencatat bahwa perkembangan teknologi di Indonesia begitu melesat
cepat, terkhusus pada dunia informatika dan komunikasi. Terbukti pada
pertengahan abad 20 pasca kemerdekaan Indonesia hingga akhir orde baru, masih
sangat jarang ditemukan alat-alat komunikasi berbasis teknologi. Katakanlah
televisi sebagai salah satu media informatika kala itu, mungkin dalam satu
daerah terutama pedesaan hanya satu atau dua orang saja yang memilikinya.
Itupun orang yang mempunyai kedudukan terpandang misalnya sebagai pegawai
pemerintah atau kepala desa. Penyampaian berita jarak jauh pun masih
menggunakan sistem surat menyurat melalui layanan POS, telegram ataupun telepon
duduk.
Namun seiring perkembangan
zaman, juga pengaruh arus globalisasi yang kian merambah dan menyebar dengan
begitu cepat, sehingga pada permulaan abad 21 ini telah terjadi perubahan
besar-besaran tekait dengan alat komunikasi dan informatika. Mulai dari HP merk
jadul yang hanya bisa SMS dan telepon (Call) hingga saat ini muncul
berbagai macam type HP smartphone, tablet dan lain sebagainya
yang dilengkapi layanan aplikasi-aplikasi untuk mengakses informasi secara luas
dan bebas melalui dunia internet. Hal ini tidak lain merupakan salah satu efek
yang timbul dari revolusi industri yang terjadi di negara-negara barat.
Hegemoni Barat dalam kemajuan telekomunikasi tak diragukan lagi
sarat dengan nilai-nilai tertentu, seperti ucapan terkenal ahli komunikasi
Marshall McLuhan: “Medium is the message” melalui program inilah terjadi
ekspansi dan penetrasi nilai-nilai
semacam “keserbalonggaran” (permissiveness) hubungan antara laki-laki
dan perempuan, kehidupan yang serba materialistik dan hedonistik, atau kultur
kekerasan, yang tidak semuanya cocok dengan nilai-nilai budaya dan agama
masyarakat Indonesia.[1]
Dengan melihat fenomena-fenomena tersebut, muncullah pertanyaan bagaimana
peran pendidikan karakter dalam Islam dalam membentengi masyarakat, khususnya
peserta didik dari pengaruhpengaruh negatif kebebasan informasi? Langkah apa
yang ditawarkan pendidikan Islam untuk memfilter informasi-informasi yang
beredar di sosial media? Dan bagaimana pelajar berperan dalam menangkal hoax
yang sering beredar di sosial media?
1.
ERA KEBEBASAN INFORMASI
Sejak berakhirnya rezim orde baru, di Indonesia terjadi suatu
perubahan yang cukup signifikan, mulai dari sistem pemerintahan yang otoriter
sentral menjadi lebih demokratis desentral. Hingga terkait informasi pun yang
awal mulanya begitu ketat dan tertutup serta tidak setiap individu dapat dengan
mudah mengakses ataupun menyebarkan berita/informasi. Sejak beralihnya ke masa
reformasi, hak untuk memperoleh dan menyebarkan berita/informasi berubah
menjadi suatu kebebasan atas nama Hak Asasi Manusia (HAM) bagi setiap warga.
Menurut A. Patra M. Zen, hak untuk informasi selain merupakan bagian dari hak
sipil dan politik, namun juga terkait erat dengan pemenuhan hak asasi lainnya,
termasuk hak ekonomi, sosial dan budaya. Ini tercermin dari pasal 17 konvensi
hak-hak anak yang merumuskan betapa pentingnya untuk dijamin negara, hak atas
informasi, khususnya dalam rangka mewujudkan standar kesehatan yang tinggi bagi
anak dan remaja.[2]
Kebebasan informasi sebenarnya juga telah dilegitimasi UUD 1945,
yang mana pada masa reformasi mengalami perubahan sebanyak 4 kali yaitu tahun
1999, 2000, 2001, 2002. Salah satu muatannya adalah penegasan eksistensi hak
asasi manusia secara komprehensif termasuk hak atas kebebasan memperoleh
informasi publik. Hal ini tertuang pada Pasal 28 F yang berbunyi:
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Dengan demikian kebebasan terkait informasi telah digaungkan
sebagai hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara, dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan rakyat dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya anak
bangsa. Namun pada kenyataannya, kebebasan yang diberikan oleh negara dengan
tujuan kebaikan ini tidak selamanya digunakan sebagaimana mestinya, ada saja
pihak-pihak yang menyalahgunakan kesempatan hanya untuk kepentingan-kepentingan
individu/kelompok. Mereka sudah terpengaruh dengan arus globalisasi yang
terjadi di dunia barat beserta ideologi-ideologinya yang kapitalisme,
materialisme, naturalisme, pragmatisme, liberalisme dan lain sebagainya. Oleh
karena itu di era kebebasan informasi ini, media sosial khususnya tidak
selamanya berdampak positif bagi kehidupan manusia khususnya bagi warga negara
Indonesia, hal ini dikarenakan informasi yang ada di dalamnya baik itu berita,
fakta, prasangka, gosip bahkan fitnah bercampur aduk jadi satu. Banyak
kasus-kasus kriminal, kekerasan, tawuran, perkelahian yang ditimbulkan hanya
bermula dari informasi yang ada di media sosial.
2.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP INFORMASI
Terkait informasi, Islam telah memberikan solusi yang tepat kepada
umatnya agar tidak terjerumus dalam kenistaan akibat sebuah informasi/berita
yang tidak jelas arah tujuannya.
a.
Tabayyun
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk tidak gegabah dalam
menerima, membaca, maupun mendengar suatu informasi. Seseorang yang mendapatkan
suatu informasi harus meyakinkan kepada dirinya bahwa informasi yang ia dapat
merupakan suatu kebenaran bukan kebohongan. Bagaimana ia dapat mengetahui benar
tidaknya informasi tersebut?.
Langkah konkret yang harus dilakukan oleh penerima informasi/berita
adalah untuk ber-tabayyun (konfirmasi), men-check dan re-check
dahulu asal muasal berita/informasi tersebut kepada orang yang lebih mengetahui
dalam hal terkait, atau jika memungkinkan mengkonfirmasi pihak/instansi yang
tercantum lebih utama. Dalam al-Qur’an telah ditegaskan dalam hal meng-cek kebenaran
suatu informasi/berita:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 06)
Maka sebelum anda mempercayai suatu berita ataupun menyebarkannya
kepada yang lain, seyogyanya untuk memastikan terlebih dahulu status informasi
tersebut. Suatu berita/informasi tidak jarang di dalamnya memuat prasangka atau
yang sering disebut dengan zhan.
Islam mengajarkan untuk berhati-hati terhadap zhan
(prasangka), karena suatu prasangka ‘membicarakan orang lain’ jika itu benar
berarti ia masuk dalam ghibah, namun jika ternyata itu salah akan masuk
dalam kategori fitnah. Keduanya tidaklah dibenarkan dalam Islam, baik itu ghibah
terlebih fitnah. Dalam bahasa Inggris zhan disebut “pre judice”
yang berarti menghukumi seseorang/sesuatu sebelum mengetahui secara pasti apa
yang sebenarnya.
b.
Bicara yang baik atau diam
Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk selalu menjaga
lisannya. Tak terlepas kaitannya dengan informasi, seseorang hendaknya
memikirkan beribu-ribu kali sebelum menyebarkan suatu informasi/berita. Dalam
hal ini tidak dapat diartikan secara sempit berita/informasi yang keluar dari
lisan, namun tulisan juga berperan sebagai lisan bahkan gaya tulisan bisa lebih
tajam pengaruhnya bagi para pembaca.
Maka sebagaimana disebutkan di atas, seseorang hendaknya tidak
mudah-mudah men-share/menyebarkan informasi yang ia terima, terlebih
informasi-informasi yang mempunyai karakteristik provokasi. Islam sangat tegas
dalam kaitannya penyebaran informasi, bahkan orang yang begitu mudah
menyebarkan setiap informasi yang ia terima tanpa menelusuri kebenarannya,
cukup dan patut dicurigai sebagai orang yang pendusta.
“Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Cukuplah seseorang
(dicurigai) sebagai pendusta, apabila ia mengabarkan/menyebarluaskan setiap apa
yang ia dengar (tanpa menelusuri kebenarannya).”(HR. Muslim, No: 05)[3]
3.
PENDIDIKAN KARAKTER ISLAM SEBAGAI FILTER INFORMASI
Secara teoritis pendidikan diartikan sebagai pemikiran manusia
terhadap masalah-masalah kependidikan dalam memecahkan dan menyusun teori-teori
baru dengan mendasarkan kepada pemikiran normatif, spekultaif, rasional
empirik, rasional filosofis, maupun historis filosofis. Adapun secara praktik,
pendidikan merupakan suatu proses pemindahan atau transformasi pengetahuan
ataupun pengembangan potensi-potensi yang dimiliki subyek didik untuk mencapai
perkembangan secara optimal, serta membudayakan manusia melalui transformasi
nilai-nilai yang utama.
Menurut M Noor Syam bahwa pendidikan merupakan aktifitas dan usaha
manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi
pribadi, yakni rohani (pola fikir, cipta, rasa, karsa, budi nurani) dan jasmani
(panca indera dan keterampilan).[4]
Dalam konteks Islam, Dr. Ahmad D. Marimba memberikan pengertian
pendidikan Islam sebagai bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum
Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Hasan langgulung di dalam bukunya Pendidikan Islam Menghadapi
Abad ke 21 menyatakan bahwa, “masyarakat saleh adalah masyarakat yang
percaya bahwa ia mempunyai risalah (message) untuk umat manusia, yaitu
risalah keadilan, kebenaran, dan kebaikan, suatu risalah
yang akan kekal selama-lamanya, tidak terpengaruh oleh faktor-faktor waktu dan
tempat. Firman Allah: “ Kamu adalah umat terbaik yang pernah diutus bagi
umat manusia, sebab kamu mengajar kepada kebaikan dan melarang dari kejahatan”.
(Qs. 3:110).”[5]
Pendidikan Islam mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai karakter
ke-Islaman dan akhlaq yang baik kepada peserta didik baik dalam hal hubungan
manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya, maupun manusia dengan alam
lingkungannya. Pendidikan Islam mengajarkan kejujuran, kedamaian, serta
kerukunan saling menghargai dan menghormati, menjauhkan sifat suka berprasangka
terhadap orang lain dan lain sebagainya. Hal ini bertujuan untuk memberikan
pondasi serta tameng yang kuat kepada peserta didik agar tidak mudah terbawa
dan terpengaruh oleh arus globalisasi khususnya terkait kebebasan informasi.
Pendidikan Islam juga mengajarkan batas aurat, serta hak dan kewajiban
Muslim yang menginjak dewasa atau baligh dan mukallaf, untuk
membentengi peserta didik dari arus globalisasi yang mana marak dimuatnya
pornografi dan pornoaksi dalam media massa baik itu media cetak terlebih
elektronika seperti televisi dan internet.
Dunia remaja menjadi fokus masalah dalam pendidikan Islam
kontemporer, karena remaja menjadi sasaran empuk bagi para perusak moral yang
hanya mementingkan keuntungan pribadi, di samping itu juga dalam berbagai
tindak kriminal yang muncul, pelaku utama dan korban paling banyak adalah
remaja itu sendiri. Di dalam bukunya Nalar Spiritual Pendidikan, Abdul Munir
Mulkan menyatakan bahwa, “daya pesona dan fitalitas di satu sisi serta
kebelumjadian dirinya membuat remaja melihat dirinya berada dalam dua dunia
citra dengan realitas dan sosialnya. Psikolog sering melukiskan dilemma ini
sebagai fenomena dan momen krisis jati diri. Tampaklah dunia remaja yang serba
tanggung dan membuatnya mudah dipengaruhi hal-hal serba baru yang ditayangkan
dunia citra iklan.[6]
Arah perkembangan hidup IPTEK yang terus melaju, harus dipandang
sebagai tantangan pendidikan Islam yang penuh resiko, oleh karena itu perlu
ditanggulangi dengan perencanaan kegiatan kependidikan yang berstrategi pada
wawasan sesuai dengan aspirasi agama Islam yang diturunkan Allah untuk menjadi
rahmat bagi sekalian alam.
Dalam konteks pendidikan Islam untuk merespon berbagai tantangan
yang sekaligus peluang tersebut pendidikan Islam, diperlukan sebuah paradigma
yang jelas baik secara konseptual atau pun pelaksanaan praktis di lapangan.
Tentunya untuk merealisasikan idealitas tersebut dibutuhkan kerjasama dan
sinergitas antara seluruh komponen pendidikan Islam, sehingga dalam menghadapi
arus globalisasi pendidikan Islam akan tetap memberikan respon positif dan tetap
mempertahankan karakter yang dimilikinya dalam rangka membantu memberikan
kontribusi penyelesaian problem yang dihadapi masyarakat global.[7]
4.
HOAX COMMUNICATION INTERACTIVITY IN SOCIAL MEDIA AND ANTICIPATION
Gambaran terkait berita Hoax ternyata diproduksi untuk
merugikan pihak-pihak tertentu dengan penuh kebencian dan permusuhan. Hoax yang
disebar luas dan berulang-ulang yang menggambarkan bahwa dapat membentuk opini
publik masyarakat yang tidak baik. Medium yang digunakan pada kasus hoax
salah satunya jaringan sosial yang mana terbentuk karena adanya kesamaan
tujuan pengirim maupun penerima pesan, baik untuk menjelek-jelekkan salah satu
pihak maupun sebaliknya yaitu direspon sebagai pembelaan objek hoax.
Sementara karakteristik sosial yang terbangun di dalamnya adalah membentuk
jaringan diantara penggunanya, baik saling mengenal, maupun tidak, namun
dipertemukan dalam sebuah kesamaan karakteristik sosial.
Pesan yang saling dipertukarkan antara pengguna (pengguna dan
penerima) adalah pesan hoax dalam bentuk berita, informasi ataupun
gambar yang diganti baik kata-kata maupun keterangan gambarnya yang tidak
sesuai dengan berita asli. Produksi konetan hoax sepenuhnya merupakan
kemampuan pengguna baik menciptakan, merubah, memodifikasi, hingga menyebarkan
melalui media social. Hal ini ikut diperparah dengan kondisi masyarakat
Indonesia yang dengan mudah percaya begitu saja dengan berita yang beredar. Ini
juga dikarenakan hoax diproduksi seolah-olah dari situs berita ternama
seperti kompas.com dan situs luar negeri, sehingga ikut menimbulkan rasa
percaya masyarakat terhadap berita tersebut.
Ada tiga pendekatan penting yang diperlukan untuk mengantisipasi
penyebaran berita hoax di masyarakat yaitu pendekatan kelembagaan,
dengan terus menggalakkan komunitas anti hoax. Dari sisi pendekatan
teknologi, dengan aplikasi hoax cheker yang bisa digunakan oleh
masyarakat untuk mengecek kebenaran berita yang berindikasi hoax.
Pendekatan literasi, dengan gerakan anti berita hoax maupun sosialisasi
kepada masyarakat mulai dari sekolah hingga masyarakat umum yang ditingkatkan
dan digalakkan, bukan saja oleh pemerintah tetapi juga oleh seluruh lapisan
masyarakat termasuk institusi-institusi non pemerintah lainnya.
Ditujukan pula rekomendasi kepada Kementerian Kominfo untuk
membentuk badan independen yang melakukan pengecekan apakah berita tersebut
bersifat hoax atau tidak. Badan tersebut sekaligus mengelola aplikasi
pengecekan hoax yang terakses ke seluruh media online,
mengaktifkan cyber GPR untuk share informasi melawan berita hoax
di setiap instansi pemerintah pusat hingga tingkat daerah, meminimalisir
keberadaan akun anonym dengan cara verifikasi akun digital menggunakan
identitas asli masyarakat Indonesia terutama pada website atau layanan internet
dengan lalu lintas data yang tinggi. Semua institusi, baik pemerintah maupun
swasta disarankan untuk terus meningkatan upaya kampanye anti hoax dan
mendukung konten-konten positif bagi masyarakat. Usaha lain yang dapat ditempuh
adalah mengupayakan literasi digital bagi pelajar dan masyarakat umum secara
berkesinambungan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa era kebebasan informasi
merupakan suatu tantangan baru bagi kehidupan manusia pada abad 21 ini. Dunia
semakin terbuka dan terang-terangan dalam segalanya. Manusia jika tidak
dibekali pondasi kepribadian dan akhlaq yang kuat akan sangat mudah terbawa dan
terombang-ambing oleh arus globalisasi dunia. Permusuhan dimana-mana, tindak
kriminal, kekerasan merajalela, bahkan pornografi dan pornoaksi berada sangat dekat
dengan mata.
Pada situasi yang krisis moral dan spiritual ini, pendidikan karakter
Islam diharapkan mampu membentengi para peserta didik dalam menghadapi
tantangan zaman ini, dengan menanamkan karakter dan nilai-nilai mulia ajaran
Islam. Terkait informasi yang bebas, Islam mengajarkan beberapa hal:
1.
Ber-tabayyun (konfirmasi) terhadap kebenaran suatu berita,
sehingga tidak mudah terprovokasi dan diadu domba.
2.
Jika telah diketahui asalnya, perlu ditinjau apakah informasi
tersebut sesuai dengan fakta ataukah hanya sekedar prasangka?
3.
Memikirkan kembali apakah informasi tersebut perlu disebarkan
kembali ataukah tidak? Dan jika disebarkan kembali mana yang lebih banyak
antara manfaat ataukah justru menimbulkan permusuhan yang tak diinginkan?
Dengan langkah tersebut, diharapkan masyarakat terlebih peserta
didik, dapat memfilter (memilah-milah) terhadap informasi yang ia dapatkan,
sehingga tidak mudah terprovokasi atas apa yang ia dengar, lihat di media
sosial sebelum ia benar-benar menge-cek kebenaran informasi tersebut.
[1]
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu. 1999) hlm. 44
[2] R.
Muhammad Mihradi, Kebebasan Informasi Publik Versus Rahasia Negara,
(Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 25
[3]
Muslim bin al-Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairy an-Nisabury, Shahih Muslim, Tahqiq:
Muhammad Fuad Abd al-Baqi, (Beirut: Daar Ihya at-Turats al-‘Araby), Jilid
I, hlm. 10
[4]
Bashori Muchsin dan Abdul Wahid, Pendidikan Islam Kontemporer.(Bandung:
PT Refika Aditama, 2009), hlm. 1
[5]
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke-21. (Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1988), hlm. 139
[6]
Abdul Munir Mulkan, Nalar spiritual Pendidikan. (Yogyakarta: PT Tiara
Wacana Yogya, 2002), hlm. 53
[7]
Musthofa Rembangy, “Pendidikan Islam dalam Formasi Sosial Globalisasi” dalam
Imam Machali dan Mustofa, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi,
(Yogyakarta: Presma Fak. Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga dan Ar-Ruzz
Media, 2004), hlm. 148-149

Tidak ada komentar:
Posting Komentar