Jumat, 27 November 2020

Menanamkan Nilai-Nilai Pancasila, Kebhinekaan dan Budaya Literasi Sebagai Upaya Penangkal Berita Hoax Melalui Media Sosial di Kalangan Pelajar Multidimensi

 

“Menanamkan Nilai-Nilai Pancasila, Kebhinekaan dan Budaya Literasi Sebagai Upaya Penangkal Berita Hoax Melalui Media Sosial di Kalangan Pelajar Multidimensi”

Oleh: Fikri Imanullah

Bumi Boyolangu

***



Berbicara mengenai pelajar, ujaran kebencian dan berita palsu atau lebih sering disebut dengan istilah berita hoax mungkin bukan lagi menjadi hal yang tabu bagi masyarakat Indonesia. Jika diperdalam lagi, ketiganya memang memiliki substansi berbeda dalam suatu pembahasan. Namun dewasa ini, tampaknya ketiga hal tersebut tengah berkolaborasi menjadi satu kesatuan dalam pemaknaan yang utuh dimana akan memunculkan masalah sosial yang baru di lingkungan masyarakat Indonesia. Hal inilah yang menjadi fokus pemerintah maupun kaum pecinta perdamaian untuk segera memberantas berita hoax yang bermuara pada disintegrasi.

Di abad ke-21 ini, Indonesia sudah memasuki era Revolusi Industri 4.0 yang mana penggunaan media sosial merupakan pionir untuk mengetahui segala peristiwa dan kejadian dari berbagai dimensi. Mulai dari ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan (IPOLEKSOSBUDHANKAM) bahkan ilmu pengetahuan pun sudah bisa dilihat perkembangannya melalui media sosial. Namun sayangnya, tidak semua orang akan setuju dengan informasi-informasi tersebut. Kelompok pro dan kontra akan selalu mendampingi seiring perubahan yang ada.

Dampaknya, saat ini Indonesia dengan mudahnya dipenuhi oleh ujaran kebencian yang mengatas namakan SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan). Media sosial yang diharapkan sebagai ruang pergerakan sosial  yang membawa perubahan positif di masyarakat justru menjadi tempat persemaian berita hoax dan ujaran kebencian. Oleh sebab itu, benar saja apabila kebencian dan kekerasan yang terjadi bermula dari kurangnya informasi yang valid dan bertebarannya berita bohong bahkan provokatif dimana-mana.

Indonesia merupakan negara demokratis yang mengizinkan rakyatnya untuk bebas berpendapat dimana saja. Namun siapa sangka jika ujaran kebencian atau hate speech juga ikut mengiringi kebebasan berpendapat di media sosial. Sejak pilpres tahun 2014 lalu, istilah “hater” mulai merambah luas di kalangan oknum-oknum yang berkecenderungan membuat ujaran kebencian kepada orang lain maupun kelompok tertentu yang dianggap tidak sependapat dan sepemikiran dengannya.

Maka dari itu, kebhinekaan dan Pancasila yang saat ini digunakan sebagai alat pemersatu bangsa diuji oleh kecenderungan pada praktik ujaran kebencian yang dikemas melalui media sosial dan disajikan gambar, video, bahkan tulisan-tulisan yang bersifat provokatif dan persuasif. Apalagi kondisi ini semakin diperparah dengan adanya penyalah gunaan media sosial seperti persebaran berita bohong atau informasi palsu (hoax) dengan dibumbui oleh fakta-fakta maya yang tidak sesuai dengan realita yang sengaja dibuat hiperbolik untuk memengaruhi pembaca. Sehingga fenomena tersebut mejadi pemicu permusuhan dan perpecahan bangsa.

Dari pemaparan keterangan di atas, yang akan sangat terpengaruh oleh persebaran berita-berita di media sosial adalah para remaja milenial usia pelajar. Mereka, para remaja milenial, merupakan salah satu pengelompokkan generasi muda yang banyak diperbincangkan saat ini, baik di Indonesia maupun di belahan dunia lainnya. Para peneliti sosial sering mengelompokkan mereka sebagai generasi yang sekarang berusia antara 17-37 tahun. Generasi ini sangat identik dengan penggunaan media sosial dan internet. Menurut penelitian Pew Research Center (2010), generasi milenial tidak bisa lepas dari penggunaan teknologi, karena hal itu sudah menjadi kebutuhan pokok mereka dan kebanyakan dari mereka memiliki media sosial.

Salah satu gejala yang menarik dari keterkaitan antara hubungan remaja milenial dengan media sosial adalah perdebatan di dunia maya tanpa disertai alasan yang masuk akal sehingga menyebabkan akhir dengan penuh ketidakjelasan. Gejala ini disebut dengan istilah debat kusir virtual. Menurut pendekatan psikologis, gejala itu adalah konsekuensi dari ciri-ciri generasi muda yang memang labil, egois dan emosional serta menganggap apa yang mereka pahami adalah sesuatu yang benar tanpa menguak lebih dalam asal-muasalnya terlebih dahulu.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, semua informasi baik dari dalam maupun luar negeri dengan mudahnya dapat diakses seiring perkembangan kecanggihan teknologi tanpa harus melihat langsung di tempat kejadian. Melalui media sosial semua yang terjadi di setiap sudut Indonesia maupun dunia akan terlihat dan terasa lebih dekat. Data mengungkapkan bahwa pemakai smartphone di Indonesia kisaran 1,25 kali jumlah penduduk Indonesia saat ini. Dari fakta tersebut terkuak bahwa pengguna media sosial atau pun situs online (internet) adalah para remaja usia pelajar.

Di media sosiallah mereka memperbincangkan segala hal. Mulai dari yang remeh-temeh seperti jadwal pemutaran film di bioskop, masalah kehidupan artis tanah air maupun luar negeri, sampai perbincangan mengenai masalah yang diasumsi oleh masyarakat umum seperti debat Capres dan Cawapres satu periode ke depan.

Menilik dari berbagai perbincangan para pemuda usia pelajar di media sosial, sering kali debat kusir virtual pun terjadi. Debat ini kerap dianggap sebagai ajang saling mengkritik dan berpendapat. Tak jarang mereka juga akan saling menghina, memfitnah dan menjelek-jelekkan kelompok atau orang yang dianggap tidak sama dengan pandangannya. Apabila debat kusir virtual ini sudah berlangsung, maka debat tersebut akan berjalan sangat sengit, tanpa peduli dengan substansi maupun acuan pada data yang valid, menguras habis waktu produktif dan tidak jarang akan mengarah pada pertengkaran serta berujung pada perpecahan.

Maka di sinilah korelasi antara pelajar, ujaran kebencian dan berita hoax terjadi. Pada fenomena ini para pelajar dituntut untuk berperan aktif dalam menangkal penyebaran berita hoax dan ujaran kebencian di media sosial. Menurut Plt. Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Muhd. Abdullah Darraz, pelajar menjadi segmen penting penggunaan media sosial yang diterpa melubernya berita-berita bohong tersebut. Tak jarang, mereka juga akan turut ikut menyebarkan pada lingkup pertemanan maupun keluarga.

Oleh sebab itu, di era yang serba modern ini sangat diperlukan para pelajar Indonesia yang melek media, kritis pada setiap isu, bahkan mampu menghasilkan suatu karya jurnalistik yang ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan dan kebhinekaan. Sebagai garda terdepan yang menentukan nasib masa depan bangsa, para pemuda perlu dikarantina supaya tidak mudah terprovokasi dengan berita-berita ataupun informasi yang belum tentu kejelasannya.

Rekonstruksi pemahaman nilai-nilai Pancasila dan kebhinekaan yang merupakan  kunci atas kemajuan bangsa yang dipenuhi dengan kemajemukan ini perlu digalakkan kembali. Sebagai pemuda yang telah dibekali oleh kecerdasan intelektual dan cara pandang yang lebih dewasa, sudah sewajarnya para pelajar mengelompokkan diri mereka sebagai filterisasi atau penyaring utama di kalangan masyarakat dalam menumpas berbagai informasi yang mengandung ujaran kebencian dan hoax. Bukan malah terjerumus oleh strategi adu domba yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Proses filterisasi ini dapat dimulai dengan aktif menyebarkan gerakan anti-hoax di berbagai media sosial. Dengan jumlah pemuda Indonesia yang mencapai 61,8 juta atau 24,5% dari total 252 juta orang penduduk Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2014) dan sebagian besar dari mereka tengah mengenyam pendidikan formal maupun non-formal dapat menjadi representatif dalam menanamkan penggunan internet sehat kepada masyarakat.

Selain itu, organisasi-organisasi kepemudaan yang bersifat cinta damai dan mengajarkan pada nilai-nilai kebangsaan yaitu nilai persatuan dan toleransi, perlu disokong penuh dengan harapan mampu menangkal berita hoax. Melalui organisasi-organisasi tersebut penyebaran kampanye anti kebencian dan hoax diberbagi media, baik lisan maupun tulisan harus dicanangkan. Dengan ini, diharapkan para pemuda utamanya para pelajar mampu mengubah cara pandang masyarakat awam yang terlalu instan menerima bebagai berita tanpa diketahui asal-usulnya telebih dahulu.

Melihat jumlah ujaran kebencian dan berita hoax yang merambah di media sosial tidaklah sedikit, memang bukan hal mudah bagi para pelajar untuk mengatasi permasalahan tersebut tanpa adanya andil dari pemerintah maupun orang-orang yang berpengaruh bagi bangsa  ini. Namun dengan turun tangannya pelajar diharapkan mampu mengurangi sedikit demi sedikit masalah tersebut.

Untuk menyambut generasi keemasan Indonesia tahun 2045, maka perlu adanya pengembangan diri dari para pelajar Indonesia. Mereka, para pelajar muda, harus bisa melihat segala bentuk informasi dan berita dari berbagai sudut dan perspektif. Tidak hanya melihat dari satu atau dua sisi saja.

Sebagai pelajar multidimensi, budaya literasi menjadi hal yang paling utama dan pertama yang harus dilakukan sebelum berani melakukan kampanye di berbagai media sosial. Para pelajar harus membaca sampai tuntas setiap inci pemberitaan. Jangan hanya setengah-setengah dalam membaca. Semua harus didalami agar tidak terjadi kesalah pahamanan yang terkadang akhirnya menimbulkan kebencian serta tidak akan salah dalam melanjutkan pemberitaan di media sosial.

Tujuan dari membaca dengan teliti adalah supaya para pelajar mengetahui secara signifikan berita-berita yang tersaji di media sosial. Dengan membaca intensif pemberitaan yang ada maka diharapkan pelajar selalu bijak dalam menilai dan mampu menyaring mana konten negatif dan mana konten positif yang lebih layak dikonsumsi.

Mari, kurangi berita hoax dan ujaran kebencian dengan memperkuat landasan ideologi Pancasila dan nilai kebhinekaan serta budaya literasi di kalangan pelajar multidimensi. Jadilah pelajar yang aktif dan bijaksana dalam mengapresiasi media sosial. Pelajar cerdas, harapan bangsa Indonesia!!

 

Sumber :

Mengutip Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No.2, 2017/Judul Mengembangkan Model

            Literasi Media yang Berkebhinekaan dalam Menganalisis Informasi Palsu (Hoax) di

            Media Sosial/Penulis Vibriza Juliswara.

Mengutip Kajian Ilmu Komunikasi Universitas Inonesia/Judul Generasi Milenial dan

 Absurditas Debat Kusir Virtual/Penulis Noveliyati Sabani.

Tidak ada komentar: