“Menanamkan
Nilai-Nilai Pancasila, Kebhinekaan dan Budaya Literasi Sebagai Upaya Penangkal
Berita Hoax Melalui Media Sosial di
Kalangan Pelajar Multidimensi”
Oleh: Fikri Imanullah
Bumi Boyolangu
***
Berbicara mengenai pelajar, ujaran kebencian dan
berita palsu atau lebih sering disebut dengan istilah berita hoax mungkin bukan lagi menjadi hal
yang tabu bagi masyarakat Indonesia. Jika diperdalam lagi, ketiganya memang
memiliki substansi berbeda dalam suatu pembahasan. Namun dewasa ini, tampaknya
ketiga hal tersebut tengah berkolaborasi menjadi satu kesatuan dalam pemaknaan
yang utuh dimana akan memunculkan masalah sosial yang baru di lingkungan
masyarakat Indonesia. Hal inilah yang menjadi fokus pemerintah maupun kaum
pecinta perdamaian untuk segera memberantas berita hoax yang bermuara pada disintegrasi.
Di abad ke-21 ini, Indonesia sudah memasuki era
Revolusi Industri 4.0 yang mana penggunaan media sosial merupakan pionir untuk
mengetahui segala peristiwa dan kejadian dari berbagai dimensi. Mulai dari
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan
(IPOLEKSOSBUDHANKAM) bahkan ilmu pengetahuan pun sudah bisa dilihat
perkembangannya melalui media sosial. Namun sayangnya, tidak semua orang akan
setuju dengan informasi-informasi tersebut. Kelompok pro dan kontra akan selalu
mendampingi seiring perubahan yang ada.
Dampaknya, saat ini Indonesia dengan mudahnya dipenuhi
oleh ujaran kebencian yang mengatas namakan SARA (Suku, Agama, Ras, Antar
Golongan). Media sosial yang diharapkan sebagai ruang pergerakan sosial yang membawa perubahan positif di masyarakat
justru menjadi tempat persemaian berita hoax
dan ujaran kebencian. Oleh sebab itu, benar saja apabila kebencian dan
kekerasan yang terjadi bermula dari kurangnya informasi yang valid dan
bertebarannya berita bohong bahkan provokatif dimana-mana.
Indonesia merupakan negara demokratis yang mengizinkan
rakyatnya untuk bebas berpendapat dimana saja. Namun siapa sangka jika ujaran
kebencian atau hate speech juga ikut
mengiringi kebebasan berpendapat di media sosial. Sejak pilpres tahun 2014
lalu, istilah “hater” mulai merambah
luas di kalangan oknum-oknum yang berkecenderungan membuat ujaran kebencian
kepada orang lain maupun kelompok tertentu yang dianggap tidak sependapat dan
sepemikiran dengannya.
Maka dari itu, kebhinekaan dan Pancasila yang saat ini
digunakan sebagai alat pemersatu bangsa diuji oleh kecenderungan pada praktik
ujaran kebencian yang dikemas melalui media sosial dan disajikan gambar, video,
bahkan tulisan-tulisan yang bersifat provokatif dan persuasif. Apalagi kondisi
ini semakin diperparah dengan adanya penyalah gunaan media sosial seperti
persebaran berita bohong atau informasi palsu (hoax) dengan dibumbui oleh fakta-fakta maya yang tidak sesuai
dengan realita yang sengaja dibuat hiperbolik untuk memengaruhi pembaca.
Sehingga fenomena tersebut mejadi pemicu permusuhan dan perpecahan bangsa.
Dari pemaparan keterangan di atas, yang akan sangat
terpengaruh oleh persebaran berita-berita di media sosial adalah para remaja
milenial usia pelajar. Mereka, para remaja milenial, merupakan salah satu
pengelompokkan generasi muda yang banyak diperbincangkan saat ini, baik di
Indonesia maupun di belahan dunia lainnya. Para peneliti sosial sering
mengelompokkan mereka sebagai generasi yang sekarang berusia antara 17-37
tahun. Generasi ini sangat identik dengan penggunaan media sosial dan internet.
Menurut penelitian Pew Research Center (2010), generasi milenial tidak bisa
lepas dari penggunaan teknologi, karena hal itu sudah menjadi kebutuhan pokok
mereka dan kebanyakan dari mereka memiliki media sosial.
Salah satu gejala yang menarik dari keterkaitan antara
hubungan remaja milenial dengan media sosial adalah perdebatan di dunia maya
tanpa disertai alasan yang masuk akal sehingga menyebabkan akhir dengan penuh
ketidakjelasan. Gejala ini disebut dengan istilah debat kusir virtual. Menurut
pendekatan psikologis, gejala itu adalah konsekuensi dari ciri-ciri generasi
muda yang memang labil, egois dan emosional serta menganggap apa yang mereka
pahami adalah sesuatu yang benar tanpa menguak lebih dalam asal-muasalnya
terlebih dahulu.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, semua informasi
baik dari dalam maupun luar negeri dengan mudahnya dapat diakses seiring
perkembangan kecanggihan teknologi tanpa harus melihat langsung di tempat
kejadian. Melalui media sosial semua yang terjadi di setiap sudut Indonesia
maupun dunia akan terlihat dan terasa lebih dekat. Data mengungkapkan bahwa
pemakai smartphone di Indonesia
kisaran 1,25 kali jumlah penduduk Indonesia saat ini. Dari fakta tersebut
terkuak bahwa pengguna media sosial atau pun situs online (internet) adalah para remaja usia pelajar.
Di media sosiallah mereka memperbincangkan segala hal.
Mulai dari yang remeh-temeh seperti jadwal pemutaran film di bioskop, masalah
kehidupan artis tanah air maupun luar negeri, sampai perbincangan mengenai
masalah yang diasumsi oleh masyarakat umum seperti debat Capres dan Cawapres
satu periode ke depan.
Menilik dari berbagai perbincangan para pemuda usia
pelajar di media sosial, sering kali debat kusir virtual pun terjadi. Debat ini
kerap dianggap sebagai ajang saling mengkritik dan berpendapat. Tak jarang
mereka juga akan saling menghina, memfitnah dan menjelek-jelekkan kelompok atau
orang yang dianggap tidak sama dengan pandangannya. Apabila debat kusir virtual
ini sudah berlangsung, maka debat tersebut akan berjalan sangat sengit, tanpa
peduli dengan substansi maupun acuan pada data yang valid, menguras habis waktu
produktif dan tidak jarang akan mengarah pada pertengkaran serta berujung pada
perpecahan.
Maka di sinilah korelasi antara pelajar, ujaran
kebencian dan berita hoax terjadi.
Pada fenomena ini para pelajar dituntut untuk berperan aktif dalam menangkal
penyebaran berita hoax dan ujaran
kebencian di media sosial. Menurut Plt. Direktur Eksekutif MAARIF Institute,
Muhd. Abdullah Darraz, pelajar menjadi segmen penting penggunaan media sosial
yang diterpa melubernya berita-berita bohong tersebut. Tak jarang, mereka juga
akan turut ikut menyebarkan pada lingkup pertemanan maupun keluarga.
Oleh sebab itu, di era yang serba modern ini sangat
diperlukan para pelajar Indonesia yang melek
media, kritis pada setiap isu, bahkan mampu menghasilkan suatu karya
jurnalistik yang ditujukan untuk kepentingan kemanusiaan dan kebhinekaan.
Sebagai garda terdepan yang menentukan nasib masa depan bangsa, para pemuda
perlu dikarantina supaya tidak mudah terprovokasi dengan berita-berita ataupun
informasi yang belum tentu kejelasannya.
Rekonstruksi pemahaman nilai-nilai Pancasila dan
kebhinekaan yang merupakan kunci atas
kemajuan bangsa yang dipenuhi dengan kemajemukan ini perlu digalakkan kembali.
Sebagai pemuda yang telah dibekali oleh kecerdasan intelektual dan cara pandang
yang lebih dewasa, sudah sewajarnya para pelajar mengelompokkan diri mereka
sebagai filterisasi atau penyaring
utama di kalangan masyarakat dalam menumpas berbagai informasi yang mengandung
ujaran kebencian dan hoax. Bukan
malah terjerumus oleh strategi adu domba yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab.
Proses filterisasi
ini dapat dimulai dengan aktif menyebarkan gerakan anti-hoax di berbagai media sosial. Dengan
jumlah pemuda Indonesia yang mencapai 61,8 juta atau 24,5% dari total 252 juta
orang penduduk Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2014) dan sebagian besar dari
mereka tengah mengenyam pendidikan formal maupun non-formal dapat menjadi
representatif dalam menanamkan penggunan internet sehat kepada masyarakat.
Selain itu, organisasi-organisasi kepemudaan yang
bersifat cinta damai dan mengajarkan pada nilai-nilai kebangsaan yaitu nilai
persatuan dan toleransi, perlu disokong penuh dengan harapan mampu menangkal
berita hoax. Melalui
organisasi-organisasi tersebut penyebaran kampanye anti kebencian dan hoax diberbagi media, baik lisan maupun
tulisan harus dicanangkan. Dengan ini, diharapkan para pemuda utamanya para
pelajar mampu mengubah cara pandang masyarakat awam yang terlalu instan
menerima bebagai berita tanpa diketahui asal-usulnya telebih dahulu.
Melihat jumlah ujaran kebencian dan berita hoax yang merambah di media sosial
tidaklah sedikit, memang bukan hal mudah bagi para pelajar untuk mengatasi
permasalahan tersebut tanpa adanya andil dari pemerintah maupun orang-orang
yang berpengaruh bagi bangsa ini. Namun
dengan turun tangannya pelajar diharapkan mampu mengurangi sedikit demi sedikit
masalah tersebut.
Untuk menyambut generasi keemasan Indonesia tahun
2045, maka perlu adanya pengembangan diri dari para pelajar Indonesia. Mereka,
para pelajar muda, harus bisa melihat segala bentuk informasi dan berita dari
berbagai sudut dan perspektif. Tidak hanya melihat dari satu atau dua sisi
saja.
Sebagai pelajar multidimensi, budaya literasi menjadi
hal yang paling utama dan pertama yang harus dilakukan sebelum berani melakukan
kampanye di berbagai media sosial. Para pelajar harus membaca sampai tuntas
setiap inci pemberitaan. Jangan hanya setengah-setengah dalam membaca. Semua
harus didalami agar tidak terjadi kesalah pahamanan yang terkadang akhirnya
menimbulkan kebencian serta tidak akan salah dalam melanjutkan pemberitaan di
media sosial.
Tujuan dari membaca dengan teliti adalah supaya para
pelajar mengetahui secara signifikan berita-berita yang tersaji di media
sosial. Dengan membaca intensif pemberitaan yang ada maka diharapkan pelajar
selalu bijak dalam menilai dan mampu menyaring mana konten negatif dan mana
konten positif yang lebih layak dikonsumsi.
Mari, kurangi berita hoax dan ujaran kebencian dengan memperkuat landasan ideologi
Pancasila dan nilai kebhinekaan serta budaya literasi di kalangan pelajar
multidimensi. Jadilah pelajar yang aktif dan bijaksana dalam mengapresiasi media
sosial. Pelajar cerdas, harapan bangsa Indonesia!!
Sumber :
Mengutip
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No.2, 2017/Judul Mengembangkan Model
Literasi Media yang Berkebhinekaan
dalam Menganalisis Informasi Palsu (Hoax)
di
Media Sosial/Penulis Vibriza
Juliswara.
Mengutip
Kajian Ilmu Komunikasi Universitas Inonesia/Judul Generasi Milenial dan
Absurditas
Debat Kusir Virtual/Penulis Noveliyati Sabani.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar