Rabu, 11 November 2020

Banyak Terjangkit Hoax, Mungkinkah Bisa Lepas?

 

Terjangkit Hoax, Mungkinkah Bisa Lepas?

Oleh: Fikri Imanullah


***

Beberapa tahun belakangan, hoax menjadi salah satu topik yang banyak mendapat perhatian dari masyarakat Indonesia. Berbagai obrolan di warung kopi, seminar, workshop, dan konferensi banyak membahas perihal hoax. Bahkan sampai ada beberapa kampus yang menyediakan dua sks, khusus untuk mengulas tentang hoax. Hoax memang sudah mengerikan. Hoax telah menjadi musuh bersama, di samping kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan, dan segala sesuatu yang merugikan manusia.



Memang tidak bisa dipungkiri, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi juga memiliki kontribusi terhadap maraknya peredaran hoax. Sekarang harga gawai lebih ramah di kantong, begitupun koneksi internet sudah bisa ditemui hampir di seluruh tempat. Hal ini semakin membuat hoax lebih mudah untuk didistribusikan, dan dikonsumsi oleh manusia. Namun, apakah hanya faktor tersebut yang membuat hoax menjadi perbincangan hangat, sekaligus menjadi problem yang harus segera dicari solusinya? Saya rasa tidak.

Hoax juga bisa terjadi karena kecenderungan manusia yang suka pada budaya instan (Ulya, Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, 2, 2018: hlm. 289-290). Memang budaya semacam ini menguntungkan. Cepat, mudah, tanpa perlu ribet, dan berbelit-belit. Informasi apapun bisa diperoleh hanya dengan sekali klik. Namun kebenaran, akurasi, dan juga ketepatan informasi menjadi taruhan. Karena belum ada lembaga kredibel yang menjamin, kecuali penyedia informasi itu sendiri.

Selain itu, hoax sebenarnya lebih mudah didistribusikan dan dikonsumsi oleh masyarakat atau lingkungan yang tingkat literasinya rendah (Maulana, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya, 2, Desember 2017: 210). Wajib belajar dua belas tahun belum bisa menjamin manusia bisa lepas dari jeratan hoax. Di perguruan tinggi pun juga demikian. Hal ini dilatarbelakangi oleh pengetahuan yang diajarkan dibangku pendidikan perihal hoax bukan pada indikasi-indikasinya, melainkan pada dampak hoax setelah kasusnya terjadi. Bukan mencegah hoax, namun mengobati hoax. Padahal mencegah lebih utama daripada mengobati. Ya kita berbaik sangka saja, semoga obat pencegah hoax segera ditemukan oleh dokter-dokter yang bersangkutan.

Nah, musabab terakhir ini, saya kira yang membuat hoax bisa langgeng sampai anak cucu kita dan datangnya akhir zaman. Manusia yang fanatik buta terhadap afiliasinya (Rahadi, Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, 1, 2017: 61-62). Pokoknya informasi apapun yang datang dari afiliasinya, sudah mengandung kebenaran mutlak tanpa perlu dipertanyakan ulang. Tidak berhenti disitu saja, kebenaran yang dianggapnya mutlak ini seringkali dikampanyekan pada manusia-manusia lainnya. Tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih. Siapapun yang dijumpai, baik di media sosial, di warung kopi, di kantin sekolah, di pasar, di parkiran bioskop, wajib memperoleh kabar kebenaran mutlak dari mereka. Barang siapa yang membantah, maka debat, bully, dikucilkan, bahkan sampai dilenyapkan nyawanya tidak jadi persoalan.

Saya kadang berkhayal mesra dengan selimut, membayangkan bagaimana jadinya jika bumi yang kita huni, masing-masing manusianya memiliki fanatik buta terhadap afiliasinya? Pasti hampir tiap waktu, kabar yang muncul tentang perseteruan, konflik, bunuh-membunuh, dan ragam peristiwa mengerikan lainnya. Pasar Ngemplak itu di Kauman, satunya lagi bilang di Ngunut, satunya lagi bilang di Karangrejo, lainnya bilang di Gondang. Semuanya kekeh pada pendiriannya masing-masing. Kelanjutannya ya konflik berdarah-darah. Mungkin begitu.

Namun fanatik itu sendiri saya rasa juga perlu. Fanatik saja, cukup. Bukan fanatik buta. Melalui fanatik, manusia bisa memiliki pendirian, prinsip, atau pijakan. Misal, saya beragama Islam. Melalui pemahaman Agama Islam saya, ilmu pengetahuan dan segala macam kaitannya dengan keseharian bisa dimulai dari ajaran Agama Islam. Tapi jika ada kritikan yang sifatnya membangun, memperbaiki, dan tidak menjatuhkan maka boleh dikonsumsi sebagai upaya perbaikan diri.

Lantas, bagaimana selanjutnya? Setelah musabab hoax ditemukan, apa kemudian dibiarkan saja? Apa cukup hanya diketahui musabab kemunculan hoax lantas selesei? Tidak semudah itu Bambang! Meski saya sendiri bukan pakar tentang hoax, namun sebagai pemuda NU tidak ada salahnya turut mencurahkan sejengkal ide untuk meredam hoax. Meski juga saya tahu, ide ini mungkin hanya punya andil kecil untuk melawan hoax.

Begini, untuk membabat habis segala barang elektronik tidak mungkin dilakukan. Ribuan barang datang tiap pekannya. Berbagai varian, jenis, dan harga yang ditawarkan membuat konsumen banyak pilihan. Terlebih jika ada peringatan hari-hari besar, berbagai toko dari Sabang sampai Merauke berlomba-lomba menggaet pembeli dengan diskon yang menggiurkan. Selain itu, ide pembabatan barang elektronik ini juga bisa mempengaruhi regulasi negara, impor, ekspor, dan segala tetek mbengek lainnya.

Kemudian keberadaan budaya instan ini sebenarnya tidak bisa lepas dari tersedianya barang elektronik. Keduanya saling berkaitan. Mudahnya, kemunculan satu barang elektronik, sama dengan memupuk budaya instan. Ya bahasa kasarnya garai malesan, lumuh, tidak produktif, dan semacamnya.

Kedua solusi ini saya rasa sulit untuk diwujudkan. Selain sudah akut, rumit, dan melibatkan banyak pihak, saya sendiri kadang terjebak pada situasi seperti itu. Solusi yang mungkin, terletak pada penguatan literasi dan perbaikan diri. Keduanya ini mungkin sekali diberdayakan dan dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun sebagai bentuk upaya meredam kasus hoax.

Tentang penguatan literasi, saya pernah tergores dengan ungkapan seorang pendakwah yang mengatakan, kira-kira begini seingat saya, “Indonesia itu mayoritas umat Islam. Wahyu pertama yang turun iqra’, bacalah. Namun (kenapa) daya bacanya nomor dua dari bawah”. Ketika mendengar itu saya ingin marah dan mbantah, tapi faktanya memang demikian. Masyarakat kita, memang bukan jenis masyarakat yang mau mengeluarkan banyak uang untuk membeli pengetahuan (Daryono, 2018: 173). Membeli baju couple tiga ratus ribu tidak jadi persoalan, sedangkan membeli buku pertimbangannya berlipat ganda. Menunggu perlu dulu, lekas beli bukunya. Kira-kira demikian.

Maka cara berfikir yang demikian saya rasa perlu dirubah. Toh, laku ini juga sejalan dengan ‘Belajar’nya IPNU-IPPNU. Belajar membiasakan membaca buku di warung kopi. Belajar membeli dan berdekatan dengan buku, daripada gawai. Jadi, mengkampanyekan literasi melalui sentuhan lembut nan mesra dengan buku.

Lha terus, apa kaitannya penguatan literasi, membaca buku dengan hoax? Ada, buku bisa dijadikan senjata melawan hoax. Orang yang gemar membaca buku, akan terbiasa berfikir runtut. Jadi jika ada informasi yang masuk di gawainya, tidak langsung diamini, didistribusikan, lantas didebatkan dengan lawan-lawannya. Namun dibaca dengan jeli dulu. Kira-kira ada satu paragraf yang janggal, tidak runtut, tidak sesuai dengan topik, atau bagian mana yang dibaca tidak menentramkan maka perlu dicek ulang.

Sedangkan solusi yang kedua, tentang perbaikan diri saya meniru tipsnya Sokrates, sesepuh filsuf di Era Yunani Kuno. Suatu ketika, Sokrates kedatangan tamu. Si tamu ini hendak bercerita, namun dipotong oleh Socrates dengan tiga pertanyaan, “Apakah yang kamu katakan sudah pasti benar? Apakah yang kamu katakan adalah sesuatu yang baik? Dan apakah yang kamu katakan ada manfaatnya?”. Temannya menjawab semua pertanyaan tersebut dengan, “tidak”. Kata Socrates, “kalau apa yang akan kamu katakan padaku itu tidak benar, tidak baik, dan juga tidak berguna, lalu mengapa kamu masih akan menceritakan juga?” (Faiz, 2018: 56-57).

Nah, saya rasa ini tips yang paling manjur. Segala informasi, berita, dan kabar dari siapapun jika kebenarannya masih diragukan, tidak mengandung kebaikan, dan tidak berguna maka tidak perlu disebarkan. Cukup dikonsumsi sendiri, kemudian dihapus. Termasuk juga saat mendengarkan teman ndobos egak karu-karuan, sebelum terlanjur melebar, lebih baik diajukan tiga pertanyaan ini.

Kedua solusi ini bisa digunakan untuk antitesa hoax. Keduanya mudah dilakukan. Ya jika dirasa tidak mampu memberantas hoax secara menyeluruh, minimal sudah memutus rantai perederan hoax setelah sampai di gawai, dan di pendengaran kita. Memang problem hoax solusinya tidak bisa dilimpahkan pada pemerintah, kementerian terkait, regulasi, Pak Camat, ketua futsal, dan lain sebagainya. Namun harus dimulai dari diri kita sendiri. Jika diri tidak terjangkit hoax, maka akan ada kemungkinan-kemungkinan lainnya yang juga terselamatkan. Begitu.

 

Daftar Pustaka

Daryono, Iqbal Aji. 2018. Out Of The Lunch Box; Esai-Esai Sosial, Politik, Dan                           Agama. Yogyakarta: Shira Media

Faiz, Fahruddin. 2018. Filosof Juga Manusia. Yogyakarta: Mjs Press

Maulana, Luthfi. 2017. “Kitab Suci Dan Hoax: Pandangan Al-Qur’an Dalam                                 Menyikapi Berita Bohong” dalam Jurnal Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama                         Dan Sosial Budaya, Volume 2, Nomor 2. Bandung: Universitas Islam Negeri                 Sunan Gunung Djati

Rahadi, Dedi Rianto. 2017. “Perilaku Pengguna Dan Informasi Hoax Di Media                             Sosial” dalam Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, Volume 5, Nomor 1.                     Malang: Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi Dan Bisnis, Universitas                               Merdeka Malang

Ulya. 2018. “Post-Truth, Hoax, Dan Religiusitas Di Media Sosial” dalam Jurnal                           Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah Dan Studi Keagamaan, Volume 6, Nomor 2.                           Kudus: Institus Agama Islam Negeri Kudus

Tidak ada komentar: