“Terjangkit
Hoax, Mungkinkah Bisa Lepas?”
Oleh: Fikri Imanullah
***
Beberapa tahun belakangan, hoax menjadi salah satu
topik yang banyak mendapat perhatian dari masyarakat Indonesia. Berbagai
obrolan di warung kopi, seminar, workshop, dan konferensi banyak membahas
perihal hoax. Bahkan sampai ada beberapa kampus yang menyediakan dua sks,
khusus untuk mengulas tentang hoax. Hoax memang sudah mengerikan. Hoax telah
menjadi musuh bersama, di samping kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan, dan
segala sesuatu yang merugikan manusia.
Memang tidak bisa dipungkiri, kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi juga memiliki kontribusi terhadap maraknya peredaran
hoax. Sekarang harga gawai lebih ramah di kantong, begitupun koneksi internet
sudah bisa ditemui hampir di seluruh tempat. Hal ini semakin membuat hoax lebih
mudah untuk didistribusikan, dan dikonsumsi oleh manusia. Namun, apakah hanya
faktor tersebut yang membuat hoax menjadi perbincangan hangat, sekaligus
menjadi problem yang harus segera dicari solusinya? Saya rasa tidak.
Hoax juga bisa terjadi karena kecenderungan manusia
yang suka pada budaya instan (Ulya, Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi
Keagamaan, 2, 2018: hlm. 289-290). Memang budaya semacam ini menguntungkan.
Cepat, mudah, tanpa perlu ribet, dan berbelit-belit. Informasi apapun bisa
diperoleh hanya dengan sekali klik. Namun kebenaran, akurasi, dan juga
ketepatan informasi menjadi taruhan. Karena belum ada lembaga kredibel yang
menjamin, kecuali penyedia informasi itu sendiri.
Selain itu, hoax sebenarnya lebih mudah didistribusikan
dan dikonsumsi oleh masyarakat atau lingkungan yang tingkat literasinya rendah
(Maulana, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya, 2, Desember
2017: 210). Wajib belajar dua belas tahun belum bisa menjamin manusia bisa
lepas dari jeratan hoax. Di perguruan tinggi pun juga demikian. Hal ini
dilatarbelakangi oleh pengetahuan yang diajarkan dibangku pendidikan perihal
hoax bukan pada indikasi-indikasinya, melainkan pada dampak hoax setelah
kasusnya terjadi. Bukan mencegah hoax, namun mengobati hoax. Padahal mencegah
lebih utama daripada mengobati. Ya kita berbaik sangka saja, semoga obat
pencegah hoax segera ditemukan oleh dokter-dokter yang bersangkutan.
Nah, musabab terakhir ini, saya kira yang membuat hoax
bisa langgeng sampai anak cucu kita dan datangnya akhir zaman. Manusia yang
fanatik buta terhadap afiliasinya (Rahadi, Jurnal Manajemen Dan
Kewirausahaan, 1, 2017: 61-62). Pokoknya informasi apapun yang datang dari
afiliasinya, sudah mengandung kebenaran mutlak tanpa perlu dipertanyakan ulang.
Tidak berhenti disitu saja, kebenaran yang dianggapnya mutlak ini seringkali
dikampanyekan pada manusia-manusia lainnya. Tanpa pandang bulu, tanpa tebang
pilih. Siapapun yang dijumpai, baik di media sosial, di warung kopi, di kantin
sekolah, di pasar, di parkiran bioskop, wajib memperoleh kabar kebenaran mutlak
dari mereka. Barang siapa yang membantah, maka debat, bully, dikucilkan, bahkan
sampai dilenyapkan nyawanya tidak jadi persoalan.
Saya kadang berkhayal mesra dengan selimut,
membayangkan bagaimana jadinya jika bumi yang kita huni, masing-masing
manusianya memiliki fanatik buta terhadap afiliasinya? Pasti hampir tiap waktu,
kabar yang muncul tentang perseteruan, konflik, bunuh-membunuh, dan ragam
peristiwa mengerikan lainnya. Pasar Ngemplak itu di Kauman, satunya lagi bilang
di Ngunut, satunya lagi bilang di Karangrejo, lainnya bilang di Gondang.
Semuanya kekeh pada pendiriannya masing-masing. Kelanjutannya ya konflik
berdarah-darah. Mungkin begitu.
Namun fanatik itu sendiri saya rasa juga perlu.
Fanatik saja, cukup. Bukan fanatik buta. Melalui fanatik, manusia bisa memiliki
pendirian, prinsip, atau pijakan. Misal, saya beragama Islam. Melalui pemahaman
Agama Islam saya, ilmu pengetahuan dan segala macam kaitannya dengan keseharian
bisa dimulai dari ajaran Agama Islam. Tapi jika ada kritikan yang sifatnya
membangun, memperbaiki, dan tidak menjatuhkan maka boleh dikonsumsi sebagai
upaya perbaikan diri.
Lantas, bagaimana selanjutnya? Setelah musabab hoax
ditemukan, apa kemudian dibiarkan saja? Apa cukup hanya diketahui musabab
kemunculan hoax lantas selesei? Tidak semudah itu Bambang! Meski saya sendiri
bukan pakar tentang hoax, namun sebagai pemuda NU tidak ada salahnya turut
mencurahkan sejengkal ide untuk meredam hoax. Meski juga saya tahu, ide ini
mungkin hanya punya andil kecil untuk melawan hoax.
Begini, untuk membabat habis segala barang elektronik
tidak mungkin dilakukan. Ribuan barang datang tiap pekannya. Berbagai varian,
jenis, dan harga yang ditawarkan membuat konsumen banyak pilihan. Terlebih jika
ada peringatan hari-hari besar, berbagai toko dari Sabang sampai Merauke
berlomba-lomba menggaet pembeli dengan diskon yang menggiurkan. Selain itu, ide
pembabatan barang elektronik ini juga bisa mempengaruhi regulasi negara, impor,
ekspor, dan segala tetek mbengek lainnya.
Kemudian keberadaan budaya instan ini sebenarnya tidak
bisa lepas dari tersedianya barang elektronik. Keduanya saling berkaitan. Mudahnya,
kemunculan satu barang elektronik, sama dengan memupuk budaya instan. Ya bahasa
kasarnya garai malesan, lumuh, tidak produktif, dan semacamnya.
Kedua solusi ini saya rasa sulit untuk diwujudkan.
Selain sudah akut, rumit, dan melibatkan banyak pihak, saya sendiri kadang
terjebak pada situasi seperti itu. Solusi yang mungkin, terletak pada penguatan
literasi dan perbaikan diri. Keduanya ini mungkin sekali diberdayakan dan
dilakukan oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun sebagai bentuk upaya meredam
kasus hoax.
Tentang penguatan literasi, saya pernah tergores
dengan ungkapan seorang pendakwah yang mengatakan, kira-kira begini seingat
saya, “Indonesia itu mayoritas umat Islam. Wahyu pertama yang turun iqra’,
bacalah. Namun (kenapa) daya bacanya nomor dua dari bawah”. Ketika mendengar
itu saya ingin marah dan mbantah, tapi faktanya memang demikian.
Masyarakat kita, memang bukan jenis masyarakat yang mau mengeluarkan banyak
uang untuk membeli pengetahuan (Daryono, 2018: 173). Membeli baju couple tiga
ratus ribu tidak jadi persoalan, sedangkan membeli buku pertimbangannya
berlipat ganda. Menunggu perlu dulu, lekas beli bukunya. Kira-kira demikian.
Maka cara berfikir yang demikian saya rasa perlu
dirubah. Toh, laku ini juga sejalan dengan ‘Belajar’nya IPNU-IPPNU.
Belajar membiasakan membaca buku di warung kopi. Belajar membeli dan berdekatan
dengan buku, daripada gawai. Jadi, mengkampanyekan literasi melalui sentuhan
lembut nan mesra dengan buku.
Lha terus, apa kaitannya penguatan literasi, membaca buku dengan
hoax? Ada, buku bisa dijadikan senjata melawan hoax. Orang yang gemar membaca
buku, akan terbiasa berfikir runtut. Jadi jika ada informasi yang masuk di
gawainya, tidak langsung diamini, didistribusikan, lantas didebatkan dengan
lawan-lawannya. Namun dibaca dengan jeli dulu. Kira-kira ada satu paragraf yang
janggal, tidak runtut, tidak sesuai dengan topik, atau bagian mana yang dibaca
tidak menentramkan maka perlu dicek ulang.
Sedangkan solusi yang kedua, tentang perbaikan diri
saya meniru tipsnya Sokrates, sesepuh filsuf di Era Yunani Kuno. Suatu
ketika, Sokrates kedatangan tamu. Si tamu ini hendak bercerita, namun dipotong
oleh Socrates dengan tiga pertanyaan, “Apakah yang kamu katakan sudah pasti
benar? Apakah yang kamu katakan adalah sesuatu yang baik? Dan apakah yang kamu
katakan ada manfaatnya?”. Temannya menjawab semua pertanyaan tersebut dengan,
“tidak”. Kata Socrates, “kalau apa yang akan kamu katakan padaku itu tidak
benar, tidak baik, dan juga tidak berguna, lalu mengapa kamu masih akan
menceritakan juga?” (Faiz, 2018: 56-57).
Nah, saya rasa ini tips yang paling manjur. Segala
informasi, berita, dan kabar dari siapapun jika kebenarannya masih diragukan,
tidak mengandung kebaikan, dan tidak berguna maka tidak perlu disebarkan. Cukup
dikonsumsi sendiri, kemudian dihapus. Termasuk juga saat mendengarkan teman ndobos
egak karu-karuan, sebelum terlanjur melebar, lebih baik diajukan tiga
pertanyaan ini.
Kedua solusi ini bisa digunakan untuk antitesa hoax.
Keduanya mudah dilakukan. Ya jika dirasa tidak mampu memberantas hoax secara
menyeluruh, minimal sudah memutus rantai perederan hoax setelah sampai di gawai,
dan di pendengaran kita. Memang problem hoax solusinya tidak bisa dilimpahkan
pada pemerintah, kementerian terkait, regulasi, Pak Camat, ketua futsal, dan
lain sebagainya. Namun harus dimulai dari diri kita sendiri. Jika diri tidak
terjangkit hoax, maka akan ada kemungkinan-kemungkinan lainnya yang juga
terselamatkan. Begitu.
Daftar Pustaka
Daryono, Iqbal Aji. 2018. Out Of The Lunch
Box; Esai-Esai Sosial, Politik, Dan
Agama. Yogyakarta: Shira Media
Faiz, Fahruddin. 2018. Filosof Juga
Manusia. Yogyakarta: Mjs Press
Maulana, Luthfi. 2017. “Kitab Suci Dan Hoax:
Pandangan Al-Qur’an Dalam
Menyikapi Berita Bohong” dalam Jurnal Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya,
Volume 2, Nomor 2. Bandung: Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Rahadi, Dedi Rianto. 2017. “Perilaku Pengguna
Dan Informasi Hoax Di Media
Sosial” dalam Jurnal Manajemen Dan Kewirausahaan, Volume 5, Nomor 1. Malang: Jurusan Manajemen,
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis, Universitas
Merdeka Malang
Ulya. 2018. “Post-Truth, Hoax, Dan
Religiusitas Di Media Sosial” dalam Jurnal
Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah Dan Studi Keagamaan, Volume 6, Nomor 2. Kudus: Institus
Agama Islam Negeri Kudus

Tidak ada komentar:
Posting Komentar