Rabu, 14 Oktober 2020

Wadjak Man - Manusia Homo Wajakensis Tulungagung

Tengkorak Wajak (juga Wajak , mengikuti ejaan bahasa Prancis pada toponimnya ) adalah dua fosil tengkorak manusia yang ditemukan di dekat Wajak, sebuah desa di Kabupaten Tulungagung , Jawa Timur , Indonesia pada tahun 1888/90. Dijuluki Manusia Wajak , dan sebelumnya diklasifikasikan sebagai spesies terpisah ( Homo wadjakensis ), tengkorak tersebut sekarang dikenali sebagai fosil manusia modern secara anatomis awal. Mereka bertanggal ke awal hingga pertengahan Holosen (12.000 hingga 5.000 tahun yang lalu) pada 1990-an, tetapi sebuah studi 2013 mengklaim tanggal antara 28.000 dan 37.000 tahun yang lalu.  Morfologi mereka digambarkan sebagai proto-Australoid , atau perantara antara Manusia Solo dan Australo-Melanesia kontemporer, kemungkinan dengan campuran Mongoloid . 



Homo wajakensis (Manusia Wajak) adalah manusia purba yang pernah hidup di Indonesia. Fosil Homo wajakensis ditemukan oleh van Rietschoten pada tanggal 24 Oktober 1888 (Theunissen, 1989 dalam Storm, 1995) di sebuah ceruk di lereng pegunungan karst di barat laut Kecamatan Campurdarat, Kabupaten TulungagungJawa Timur. Pada tanggal 31 Oktober 1888 C.Ph. Sluiter menerima surat dari van Rietschoten yang kemudian dibacakan dalam pertemuan Koninklijke Natuurkundige Vereniging (Royal Society of Natural Sciences) pada tanggal 13 Desember 1888. van Rietschoten menjabarkan bahwa fosil tengkorak tersebut ditemukan saat eksplorasi pertambangan marmer, meskipun kondisi tengkorak hancur, terdapat empat gigi geraham yang masih menempel di rahang.

Pada tanggal 21 Desember 1888, Sluiter mengirim surat tentang kabar penemuan fosil tersebut ke Eugene Dubois yang pada saat itu sedang melakukan penelitian di Sumatra. Pada tanggal 11 April 1889, Sluiter membacakan reaksi Dubois terhadap kabar tersebut pada pertemuan Royal Society of Natural Sciences, Dubois menyebutkan bahwa Manusia Wajak lebih mirip ke tipe Papua daripada tipe Malay. Dubois kemudian berangkat ke Jawa dan pada tanggal 9 Juni 1890 Dubois melakukan ekskavasi di lokasi penemuan tengkorak Manusia Wajak oleh van Rietschoten (Wajak-1). Hasil ekskavasi tersebut hanya menemukan tulang hewan yang diduga merupakan rusa. Ekskavasi dilanjutkan pada akhir September 1890 hingga Oktober 1890 dan Dubois berhasil menemukan spesimen Manusia Wajak (Wajak-2) serta fragmen-fragmen dari berbagai jenis mamalia.

Pada bulan Oktober hingga Desember 1890, Dubois juga berhasil menemukan fosil Hoekgrot atau red painted skeleton di sebuah goa yang disebut sebagai eastern corner cave karena lokasinya berada di sebelah timur lokasi penemuan spesimen Wajak-1 dan Wajak-2 (Wajak Site). Selain itu, ekskavasi yang dilakukan pada tanggal 28 Desember 1890 hingga 4 Januari 1891 juga berhasil menemukan spesimen fragmental tulang manusia dan beberapa jenis fauna. Lokasi penemuan terakhir ini disebut sebagai Kecil Site, Goa Kecil Site atau juga Western Cave karena lokasinya yang berada di sebelah barat Wajak Site.

Temuan Wajak menunjukkan bahwa sekitar 40.000 tahun yang lalu Indonesia sudah didiami oleh Homo sapiens yang rasnya sukar dicocokkan dengan ras-ras pokok yang terdapat sekarang, sehingga manusia Wajak dapat dianggap sebagai suatu ras tersendiri. Diperkirakan dari manusia Wajak inilah sub-ras Melayu Indonesia dan turut pula berevolusi menjadi ras Austromelanesoid sekarang.

   

Klasifikasi ilmiah

Kerajaan:

Animalia

Filum:

Chordata

Kelas:

Mamalia

Ordo:

Primata

Famili:

Hominidae

Genus:

Homo

Spesies:

H. sapiens

Subspesies:

H. wajakensis

Manusia Purba Homo Wajakensis merupakan aset kesejarahan yang bernilai tinggi, sehingga perlu untuk dipublikasikan, dilestarikan, dan juga menjadi media pembelajaran peserta didik, khususnya di Tulungagung. Keberadaan Manusia Purba Homo Wajakensis sendiri merupakan peradaban tempo dulu yang dimiliki oleh daerah Tulungagung. Maka dari itulah, perlunya penggalian potensi kesejarahan yang lebih terfokus dalam penanaman karakter generasi muda Tulungagung.

Menelusuri sejarah dari Homo Wajakensis, fosil manusia purba ini ditemukan kedua kali di Indonesia pada tahun 1890 di Wajak, Jawa Timur. Fosil yang berhasil ditemukan adalah berupa bagian fragmen tengkorak, tulang kering dan juga tulang paha. Fosil temuan ini diberi nama Homo Wajakensis, yang memiliki arti dalam Bahasa Indonesia ‘Manusia dari Wajak.’ Homo ini dikategorikan dengan tingkatan kecerdasan yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan Pithecanthropus Erectus. Penemuan ini dilakukan oleh seorang ahli anatomi berkebangsaan Belanda bernama Dr. Eugene Dubois.

Jika merunut kembali sejarah awal mula penemuan manusia Wajak ini, bermula pada sekitar tahun 1888, seorang B. D. van Rietschoten menemukan sebuah fosil manusia purba yang berupa bagian ruas leher. Fosil yang ditemukan olehnya tersebut berada pada sebuah ceruk di lereng pegunungan karst di Barat Laut Campurdarat, dekat Tulungagung, Jawa Timur. Hasil dari penemuan van Rietszchoten inilah yang pada akhirnya kembali diperdalam untuk diteliti lebih jauh oleh Dr. Eugene Dubois.

Berdasarkan hasil penelitian yang Dubois perdalam tersebut, fosil manusia purba Wajakensis diperkirakan pernah hidup pada sekitar 15.000 hingga 40.000 tahun SM (Sebelum Masehi.) Berdasarkan fosil yang ditemukan pertama kali yang berupa sebuah ruas leher dan tengkorak kepala, Homo Wajakensis diperkirakan memiliki volume otak sekitar 1600 cc. Namun, struktur tengkorak yang dimiliki manusia Wajak berbeda dengan struktur tengkorak bangsa Indonesia pada umumnya. Homo Wajakensis ini cenderung memiliki persamaan dengan manusia purba bangsa Australia.

Kawasan daerah di sekitar Pegunungan Kapur Selatan Tulungagung tercatat sebagai kawasan awal kehidupan dan sekaligus perkembangan kehidupan sosial-budaya Tulungagung. Sehingga adanya awal kehidupan di daerah Tulungagung tepat berada di bagian selatan itu, maka membuat transisi kehidupan hingga sekarang.

Sebelum membahas mendalam mengenai manusia purba di daerah Tulungagung yang terkenal dengan sebutan manusia Homo Wajakensis, lebih baik kita telusuri di mana tempatnya diketemukan manusia purba tersebut. Pada dasarnya mengenai letak diketemukannya manusia purba Wajakensis masih gelap. Mayoritas masyarakat mengira kalau nama daerah ”Wajak” keberadaan daerahnya berada di daerah Boyolangu yang sekarang kita kenal. Di atas sudah sedikit disinggung mengenai biografi Dubois tentang penemuan awal fosil manusia wajakensis yang berada di daerah tembang marmer.

Pada tahun 1859 M, Pegunungan Gamping selatan daerah Campurdarat, waktu itu masih disebut dengan distrik Wajak. Daerah tersebut tepatnya berada di Desa Gamping, di mana pada daerah tersebut terdapat penggalian tambang marmer. Namun apabila kita kronologikan, maka nama daerah yang dimaksud ”Wajak” pada masa penemuan situs fosil manusia purba tersebut adalah di daerah Campurdarat, Tulungagung bagian selatan.

Di daerah selatan Tulungagung, yaitu tepatnya di daerah distrik Wajak pada tahun 1889 diketemukan sisa-sisa manusia purba, termasuk jenis manusia yang paling muda, oleh para ahli digolongkan ke dalam jenis manusia cerdas (Homo Sapiens) (Anonim; 1971:6). Fosil tenggkorak manusia purba, pada tahun 1889 M baru diketemukan oleh B. D. Van Rietschouten dan penemuan fosil tersebut dinamakan dengan Wajak I. Setelah itu fosil Wajak II diketemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1890. dari situlah mulai terkuaknya tabir misteri suatu fosil manusia purba yang akhirnya dinamakan dengan sebutan manusia purba Homo Wajakensis. Manusia purba Homo Wajakensis tersebut merupakan jenis manusia muda yang digolongkan sebagai manusia cerdas dan termasuk klarifikasi dalam Homo Sapiens.

Pengumuman pertama tentang fosil manusia purba Homo Wajakensis diterbitkan tahun 1889 dalam pertemuan ”Koninklij – ke Natuurkundigo in Nederkansch – Indie” pada 13 Desember 1888, Mr. C. Ph. Sluiter tahun 1889 membaca surat dari Mr. B. D. Van Rietshouten yang isinya dia telah menemukan tengkorak manusia dan sejenisnya. Abstraksi tentang isi surat tersebut disimpan pada berkas koleksi Dubois, Rijksmuseum Van Natuurlijk Historie, Leiden. Di dalamnya termasuk sketsa tentang situs wajak yang diproduksi ulang oleh Van Briak, 1982. Surat tersebut tertanggal 31 Oktober 1888 (Majalah Bersinar Tulungagung, edisi 25/IV/April 2005). Menurut Effendhie (1999), bahwasanya manusia purba Wajakensis mempunyai tinggi badan 173 cm, manusia Wajak ini juga menunjukkan ciri-ciri ras Mongoloid dan Australomelanosoid, yang diperkirakan hidup antara 40000 sampai 25000 tahun yang lalu.

Bagi Dubois, atas penemuannya yang berupa manusia purba Homo Wajakensis tersebut, akhirnya ia tinggal di daerah Tulungagung kurang lebih selama lima tahun. Di daerah Tulungagung tersebut, ia melakukan penyisiran lagi, ditempat Rietschoten menemukan fosil tengkorak manusia, yakni di daerah cekungan bebatuan sekitar daerah Wajak. Yang menarik pada saat Dubois tinggal di daerah Tulungagung adalah ia juga sering berkunjung ke perkebunan milik orang Skotlandia yang bernama Boyd, tepatnya di daerah Pegunungan Wilis. Setelah Dubois menemukan fosil manusia purba di daerah Tulungagung Selatan (Homo Wajakensis), ia semakin berambisi untuk bisa menemukan manusia purba yang lainnya. Akhirnya ia berpindah ke berbagai tempat di daerah Jawa Timur dan daerah Jawa Tengah (http://www.athenapub.com/13intro-he-htm).

 Sudah berpuluh tahun Dubois meninggalkan Indonesia, akhirnya kuburannya yang terletak di perkebunan De Bedelaer miliknya di Kota Venlo, hanya bisa membisu. Batu nisannya yang bertahtakan fosil tempurung kepala dan dua tulang paha yang disilangkan dari Phithecantrhopus yang menjadi saksi bahwasanya Dubois adalah penemu fosil manusia purba di Indonesia (khususnya daerah Jawa Tengah dan daerah Jawa Timur) (http://www.athenapub.com/13intro-he-htm).

Karakteristik Manusia Purba Wajakensis

Homo Wajakensis atau Manusia Wajak memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan jenis manusia purba lainnya yang ditemukan di Indonesia, berikut ini merupakan ciri-ciri atau karakteristik manusia purba Wajakensis, antara lain adalah :

1.             Mempunyai struktur bentuk wajah yang tidak menonjol (cenderung lebih datar)

2.      Memiliki tinggi badan sekitar 130 cm hingga 210 cm

3.      Struktur hidung dengan ukuran yang sedikit lebar

4.      Memiliki bentuk mulut yang sedikit maju

5.      Volume otak yang bias melebihi 1300 cc, yakni sekitar 1350 cc sampai dengan 1450 cc

6.      Diperkirakan memiliki berat badan sekitar 30 sampai dengan 150 kg

7.            Terdapat jarak yang memisahkan antara bagian hidung dan mulut dengan jarak yang sangat jauh.

8.      Perawakan tubuh masih menyerupai seperti kera, tetapi sudah bisa berdiri dengan tegap

9.      Bentuk tulang dahi tidak lagi menonjol, tetapi menjorok ke dalam

10.        Sudah mulai mengenal cara memproses atau mengolah makanan, karena mereka mulai memakan makanan yang sudah matang

11.  Memiliki tulang dahi yang cukup panjang

12.        Bagian dahinya terlihat sedikit miring, dan tepat pada bagian atas mata terdapat sebuah busur dahi yang sangat jelas

13.  Mempunyai tulang pipi yang menonjol ke samping

14.  Memiliki otot-otot

15.  Dilengkapi ukuran tulang yang cukup besar

 

CIRI CIRI

Pada fosil perempuan memiliki ciri muka yang datar dan lebar, akar hidung lebar dan bagian mulut menonjol sedikit. Dahinya agak miring dan di atas matanya terdapat busur kening nyata. Serta mempunyai volume otak sekitar 1.630 cc. Pada fosil laki-laki perlekatan otot sangat nyata. Langit-langit juga dalam. Rahang bawah serta gigi memiliki ukuran yang besar. Kalau menutup gigi maka muka atas akan mengenai muka bawah. Dari tulang pahanya dapat diperkirakan tubuhnya setinggi 173 cm.

Dengan demikian manusia wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang besar. Wajak sudah termasuk Homo sapiens, jadi sangat berbeda ciri-cirinya dengan Pithecanthropus. Manusia wajak mempunyai ciri-ciri baik Mongoloid maupun Austromelanesoid. Makanannya sudah dimasak walaupun masih sangat sederhana. Tengkorak Homo Wajakensis memiliki banyak persamaan dengan tengkorak penduduk asli suku Aborigin di Australia. Oleh karena itu, Eugene Dubois menduga bahwa Homo Wajakensis termasuk dalam ras Australoide, bernenek moyang Homo Soloensis dan menurunkan bangsa Aborigin. Fosil Homo Wajakensis juga memiliki kesamaan dengan fosil manusia Niah di Serawak Malaysia, manusia Tabon di PalawanFilipina, dan fosil-fosil Australoid dari Cina Selatan, dan Australia Selatan.

Adapun ciri-ciri khusus mengenai manusia purba Homo Wajakensis, menurut S. Boeddhi Sampoerno yang dituliskan dalam Majalah Bersinar Tulungagung edisi 25/IV/April 2005; bahwasanya fosil-fosil yang diketemukan di distrik Wajak tersebut dinamakan Homo Wajakensis, ciri-cirinya adalah tengkorak panjang dengan isi besar yakni Wajak I (wanita) berkapasitas 1.550 sentimeter kubik dan Wajak II (laki-laki) berkapsitas 1.650 sentimeter kubik. Isi tengkorak ini melebihi isi tengkorak manusia modern.

Tonjolan keningnya besar dan kuat seperti Australid, dahinya miring ke belakang tetapi kurang primitif, dan bagian tengah atap tengkoraknya berlunas. Mukanya lebar datar dengan tulang pipi menonjol ke samping seperti pada Mongoloid. Matanya besar, tetapi agak rendah. Ada alur di depan hidungnya, akar hidungnya melesak ke bawah dahi, tulang hidungnya sempit, kecil dan datar serta lubang hidungnya lebar. Belakang tengkoraknya membonggol dengan tempat pelekatan otot leher rata. Langit-langit mulutnya besar dan dalam, serta lebih besar dari Australid, giginya besar, tetapi dalam proporsi modern, dan lengkungannya gigi lebih kecil dan berbentuk omega. Rahang bawahnya kekar, kuat dan berat, sedangkan dagunya lemah dan miring ke belakang, lebar cabang rahang bawahnya sebanding dengan manusia Hidelbreg (Jerman). Dari tulang paha dan tulang kering dapat disimpulkan bahwa manusianya ramping dan tinggi.

Menurut Peter Bellwood (2000:125), mengatakan tengkorak-tengkorak Wajak masih menimbulkan masalah-masalah yang menarik. Banyaknya pakar menganggap tengkorak-tengkorak tersebut tergolong Australo-Melanesia dan mempunyai otak dan wajak yang besar. Hanya saja, Coon (1962) maupun Jacob (1967) mencatat kemungkinan adanya kecenderungan ciri Mongoloid yang tampak dari mukanya yang datar. Jika tarikh tersebut benar, tengkorak dari Wajak mungkin memperlihatkan beberapa tingkat kecenderungan Mongoloid untuk populasi-populasi di Jawa sebelum masa penghunian oleh penutur bahasa Austronesia. Sayangnya, kecenderungan ciri morfologis yang tepat dari tengkorak-tengkorak ini tidak begitu jelas, karena adanya berbagai masalah dalam rekontruksinya. Jika kecenderungan ciri-ciri tersebut menunjukkan aliran gen praAustronesia dari daratan Asia ke Indonesia, maka tengkorak-tengkorak Wajak itu sangat penting. Pandangan tersebut sebagian ditentang oleh Jacob (1967:51) yang pernah menganggap populasi Wajak kemungkinan adalah leluhur bersama Mongoloid Indonesia maupun Australo-Melanesia sekarang.

Untuk merangkai informasi mengenai situs manusia purba yang berada di Indonesia, khususnya dibagian selatan Tulungagung. Jacob (1967), menyatakan bahwa baru-baru ini lebih banyak lagi yang diketemukan mengenai manusia purba. Jacob beranggapan situs-situs yang paling bermasalah salah satunya adalah situs Wajak di Jawa Timur bagian selatan. Di sini, dua tengkorak diketemukan pada tahun 1888 dan 1890 – yang terakhir diketemukan oleh Dubois – dalam satu ceruk peneduh yang sekarang sudah hancur dan tidak ada bukti langsung yang tertinggal untuk penarikhan atau mengetahui konteksnya (Strom dan Nelson 1992). Untungnya, baru-baru ini dimungkinkan untuk meneliti sebuah tulang paha manusia dari situs tersebut dengan penarikhan C14 pada apatite tulang (Shutler et al. 1994), dengan hasil kira-kira 6500 BP, jadi tulang-tulang manusia dan binatang dari Wajak selayaknya dapat dianggap berumur Holosen Awal sampai pertengahan (Peter Bellwood; 2000:124-125).

Menurut Soekmono ((a)1973:29), pendapat Dubois, Homo Wajakensis itu termasuk dalam golongan bangsa Australoide, bernenek moyang Homo Soloensis dan nantinya menurunkan langsung bangsa-bangsa asli Australia itu. Menurut Voon Koenigswald, maka Homo Wajakensis itu seperti juga Homo Soloensis, asalnya dari lapisan bumi Pleistosen Atas dan mungkin sekali sudah dimasukkan dalam jenis Homo Sapiens. Ketinggian tingkatnya lebih jelas lagi dari kenyataan, bahwa berbeda dari jenis-jenis manusia tertua yang sudah disebutkan di atas, maka Homo Wajakensis itu telah di tanam (baca: dikubur), sebagaimana realitanya dari bekas-bekasnya waktu diketemukan.

Pada zaman sekarang daerah Tulungagung menjadi salah satu daerah industri tambang marmer yang terkenal hingga ke mancanegara, bisa kemungkinan juga keberadaan situs-situs manusia purba Homo Wajakensis tepatnya di gua-gua pegunungan selatan telah rusak akibat dari polah aktivitas manusia dalam menambang marmer atau batu onix. Namun apabila kita ingin melacak keberadaan situs-situs manusia purba Homo Wajakensis kemungkinan masih bisa, dengan indikasi daerahnya berada di dukuh Cerme, Campurdarat dan gua-gua di Cerme yang disebut dengan Gua Lawa.

Bukti arkeologis lain yang mengenai keberadaan kehidupan manusia purba saat itu, adalah berupa temuan hunian gua (rock sheller) di daerah Besole, di daerah Besuki yaitu Gua Song Gentong. Temuan yang didapatkan di situs gua hunian itu berupa sisa-sisa makanan, yakni cangkang kerang (Gastropoda) dan juga tulang-tulang binatang sebagai sampah dapur. Selain tempat-tempat itu, bukti serupa pernah diketemukan di situs Gua Pasetran Gondomayit yang tepatnya di dusun Ngelorejo, desa Janglungharjo, Kecamatan Tanggunggunung, Kabupaten Tulungagung.

Adanya gua-gua yang berada di Pegunungan Selatan Tulungagung tersebut, sebagai tempat tinggal atau adanya sebuah kehidupan manusia purba Homo Wajakensis. Sebab dimungkinkan gua-gua yang keberadaannya tidak jauh dari pantai selatan tersebut menjadi tempat tinggalnya, karena sewaktu-waktu mereka tidak jauh dalam mencari makanan yang berupa kerang-kerang atau ikan. Daerah Wajak relatif tidak jauh dari keberadaan rawa-rawa ataupun Samudera Hindia. Rawa Bening salah satunya, dimungkinkan memang rawa tersebut merupakan rawa yang terjadi semasa dengan terjadinya Gunung Gamping di daerah tersebut.

Namun tidak hanya keberadaan manusia Homo Wajakensis saja yang ada, melainkan kehidupan di Pegunungan Kapur Selatan Tulungagung telah dihuni berbagai jenis makhluk binatang seperti antelope, babi hutan, kijang, rhino, dan juga berbagai jenis kera. Sehingga kalau ditarekhkan pada masa manusia purba Wajakensis sudah mengenal kultur, sosio dan ekonomis. Secara tidak langsung maka manusia purba tersebut sudah mampu untuk mengolah lingkungan Pegunungan Kapur Selatan Tulungagung.

Dengan banyaknya gua-gua yang terdapat dibagian selatan daerah Tulungagung tentunya kita dapat menafsirkan, bahwasanya kehidupan manusia purba pada zaman dahulu memang sudah ada di daerah tersebut, bukti dan data yang ada, sudah menjadi pengukuhan bagi dunia kesejarahan bahwasanya daerah Tulungagung menjadi salah satu penyokong kesejarahan internasional, dengan pernah diketemukannya fosil manusia purba yang akhirnya diberi nama Homo Wajakensis. Temuan manusia purba Homo Wajakensis, mengisyaratkan pada kita bahwa sekitar 40000 tahun silam, khususnya daerah Tulungagung bagian selatan telah di diami oleh manusia purba Homo Sapiens yang tergolong dalam Ras Wajak, tentunya berbeda dengan ras manusia sekarang pada umumnya yang bertempat tinggal di kawasan tersebut.

 

Kebudayaan Manusia Wajakensis

Selain artefak-artefak yang ditinggalkan oleh Manusia Wajak, kehidupan mereka pada zaman prasejarah turut meninggalkan beberapa kebudayaan yang tersisa, dan yang hingga saat ini masih dapat ditemukan keberadaannya sebagai warisan budaaya. Beberapa kebudayaan yang diwariskan oleh Manusia Wajak, di antaranya sebagai berikut :

a. Kebudayaan Pacitan

Dalam kebudayaan Pacitan, terdapat beberapa alat perkakas yang dahulu kala sempat digunakan sehari-hari oleh Manusia Wajak. Alat-alat perkakas yang kini menjadi bagian dari kebudayaan Pacitan tersebut, dahulu ditemukan oleh seorang arkeolog bernama Von Koenigswald pada sekitar tahun 1935 di pesisir danau Baksoko, daerah Desa Punung, Pacitan, Jawa Timur.

 

Alat-alat perkakas tersebut terdiri atas Kapak Genggam, yaitu sebuah alat yang menyerupai bentuk kapak, yang tidak memiliki gagang dan digunakan dengan cara digenggam. Namun tidak hanya Kapak Genggam saja, terdapat juga Kapak Perimbas (chooper), Kapak Penetak, Pahat Genggam, dan lainnya.

b. Kebudayaan Ngandong

Dalam kebudayaan Ngandong juga terdapat beberapa bentuk budaya yang diwariskan karena dulunya pernah digunakan oleh Manusia Wajak pada zaman prasejarah. Kebudayaan Ngandong sendiri, merupakan salah satu kebudayaan yang diwariskan oleh kehidupan Homo Wajakensis dahulu. Terdapat beberapa alat yang menjadi bentuk dari kebudayaannya. Alat-alat tersebut ditemukan di daerah Ngandong, Jawa Timur.

Beberapa alat tersebut terdiri atas Kapak Genggam, yang terbuat dari batu, dan alat-alat dengan  ukuran yang lebih kecil atau disebut juga dengan Serpih (flake). Namun tidak hanya Kapak Genggam dan Serpih saja, pada kebudayaan Ngandong juga terdapat sebuah alat yang dibuat dari tulang hewan dan tanduk hewan.

 

Kalau ditinjau dalam segi kebudayaan, Homo Wajakensis sudah mempunyai unsur budaya. Menurut Soekmono ((a)1973:14), kebudayaan dewasa sekarang ini adalah hasil dari pertumbuhan dan perkembangan di waktu yang lalu (sekali-kali bukan menjadi pengganti, melainkan lanjutan). Maka untuk mengetahuinya dan mengenalnya, lebih-lebih untuk dapat menyelaminya dengan benar, perlulah ditinjau dari sejarahnya.

Menurut manuskrip Sejarah dan Babad Tulungagung (1971), bahwasanya dasar penguburan adalah erat kaitannya dengan sebuah kepercayaan, yaitu suatu usaha untuk melindungi ruh-ruh dari gangguan alam (lingkungan) atau binatang buas serta faktor-faktor lain. Maka dari itu, kalau memang benar manusia purba Homo Wajakensis tersebut sudah mengenal penguburan, berarti mereka sudah mengenal usaha untuk melindungi hidup mereka, yaitu berburu untuk menjamin kelangsungan kehidupannya, mendirikan tempat tinggal untuk berteduh dan melindungi dari gangguan dan liarnya binatang buas. Dalam hal ini tidak mustahil apabila gua-gua yang terdapat di daerah Wajak pada masa dahulunya juga merupakan tempat tinggal bagi manusia-manusia purba seperti Homo Wajakensis.

Corak kebudayaan yang ada masa manusia purba sangatlah unik dan perlu untuk diketahui. Kala itu manusia antara lain telah mengenal logam. Budaya prasejarah yang pernah terdeteksi di kawasan Tulungagung Selatan diantaranya pernah diketemukan sarkofagus di situs Darungan di desa Kalibatur Kecamatan Kalidawir. Pada saat diketemukan oleh penduduk setempat sekitar tahun 1978, didapati wadah kubur itu masih lengkap dengan bagian tutup yang terbuat dari batuan gamping berwarna kekuningan. Salah satu ujungnya dipahat meruncing, yang serupa dengan lunas perahu. Didalam lubang bagian atas sarkofagus itu terdapat kerangka manusia dan bekal kubur atau burial gift yang berupa manik-manik dan senjata dari bahan besi.

Budaya semacam bekal kubur maupun perahu lunas yang menyerupai perahu arwah, hal itu merupakan salah satu kebudayaan khas masa megalitikum yang pernah ada di Tulungagung zaman prasejarah. Dalam kaitan hal serupa pada tahun 1982 di dusun Nglempong, desa Gamping juga pernah diketemukan sisa-sisa tulang manusia yang berupa tengkorak dan fragmen tulang serta manik-manik dan juga benda yang terbuat dari perunggu.

Maka dari itulah, jejak-jejak sejarah zaman prasejarah yang ada di daerah Tulungagung perlu untuk didokumentasikan dalam rangka demi masa depan generasi muda maupun pelajar untuk bisa mengetahui dan mencintai daerahnya. Tulungagung yang kini sudah berkembang pesat dalam berbagai sektor, kita sebagai generasi muda Tulungagung setidaknya mengetahui, memahami, mencintai, dan menyayangi kesejarahan lokal Tulungagung yang merupakan tempat kelahiran.


Tidak ada komentar: