Tengkorak Wajak (juga Wajak ,
mengikuti ejaan bahasa Prancis pada toponimnya ) adalah dua fosil tengkorak manusia yang
ditemukan di dekat Wajak, sebuah desa di Kabupaten Tulungagung , Jawa Timur , Indonesia pada tahun 1888/90. Dijuluki Manusia Wajak ,
dan sebelumnya diklasifikasikan sebagai spesies terpisah ( Homo
wadjakensis ), tengkorak tersebut sekarang dikenali sebagai fosil manusia modern secara anatomis awal. Mereka bertanggal ke awal
hingga pertengahan Holosen (12.000 hingga 5.000 tahun yang lalu) pada
1990-an, tetapi sebuah studi 2013 mengklaim tanggal antara 28.000 dan 37.000
tahun yang lalu. Morfologi mereka digambarkan sebagai proto-Australoid , atau perantara
antara Manusia Solo dan Australo-Melanesia kontemporer,
kemungkinan dengan campuran Mongoloid .
Homo wajakensis (Manusia Wajak) adalah manusia purba yang pernah hidup
di Indonesia.
Fosil Homo wajakensis ditemukan oleh van Rietschoten pada tanggal 24
Oktober 1888 (Theunissen,
1989 dalam Storm, 1995) di sebuah ceruk di lereng pegunungan karst di barat
laut Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Pada tanggal 31 Oktober 1888 C.Ph. Sluiter menerima surat dari van Rietschoten
yang kemudian dibacakan dalam pertemuan Koninklijke Natuurkundige Vereniging
(Royal Society of Natural Sciences) pada tanggal 13 Desember 1888. van
Rietschoten menjabarkan bahwa fosil tengkorak tersebut ditemukan saat
eksplorasi pertambangan marmer, meskipun kondisi tengkorak hancur, terdapat empat gigi
geraham yang masih menempel di rahang.
Pada tanggal 21
Desember 1888, Sluiter mengirim surat tentang kabar penemuan fosil tersebut ke Eugene Dubois yang
pada saat itu sedang melakukan penelitian di Sumatra.
Pada tanggal 11 April 1889, Sluiter membacakan reaksi Dubois terhadap kabar
tersebut pada pertemuan Royal Society of Natural Sciences, Dubois menyebutkan
bahwa Manusia Wajak lebih mirip ke tipe Papua daripada tipe
Malay. Dubois kemudian berangkat ke Jawa dan pada tanggal 9 Juni 1890
Dubois melakukan ekskavasi di lokasi penemuan tengkorak Manusia Wajak oleh van
Rietschoten (Wajak-1). Hasil ekskavasi tersebut hanya menemukan tulang hewan
yang diduga merupakan rusa. Ekskavasi dilanjutkan pada akhir September 1890
hingga Oktober 1890 dan Dubois berhasil menemukan spesimen Manusia Wajak
(Wajak-2) serta fragmen-fragmen dari berbagai jenis mamalia.
Pada bulan Oktober
hingga Desember 1890, Dubois juga berhasil menemukan fosil Hoekgrot atau red
painted skeleton di sebuah goa yang disebut sebagai eastern
corner cave karena lokasinya berada di sebelah timur lokasi penemuan
spesimen Wajak-1 dan Wajak-2 (Wajak Site). Selain itu, ekskavasi
yang dilakukan pada tanggal 28 Desember 1890 hingga 4 Januari 1891 juga
berhasil menemukan spesimen fragmental tulang manusia dan beberapa jenis fauna.
Lokasi penemuan terakhir ini disebut sebagai Kecil Site, Goa Kecil Site atau
juga Western Cave karena lokasinya yang berada di sebelah
barat Wajak Site.
Temuan Wajak
menunjukkan bahwa sekitar 40.000 tahun yang lalu Indonesia sudah
didiami oleh Homo sapiens yang rasnya sukar
dicocokkan dengan ras-ras pokok yang terdapat sekarang, sehingga manusia Wajak
dapat dianggap sebagai suatu ras tersendiri. Diperkirakan dari manusia Wajak inilah
sub-ras Melayu Indonesia dan
turut pula berevolusi menjadi ras Austromelanesoid sekarang.
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
Subspesies:
H. wajakensis
Manusia Purba Homo Wajakensis merupakan aset kesejarahan yang bernilai
tinggi, sehingga perlu untuk dipublikasikan, dilestarikan, dan juga menjadi
media pembelajaran peserta didik, khususnya di Tulungagung. Keberadaan Manusia
Purba Homo Wajakensis sendiri merupakan peradaban tempo dulu yang dimiliki oleh
daerah Tulungagung. Maka dari itulah, perlunya penggalian potensi kesejarahan
yang lebih terfokus dalam penanaman karakter generasi muda Tulungagung.
Menelusuri sejarah dari Homo Wajakensis, fosil manusia purba ini ditemukan
kedua kali di Indonesia pada tahun 1890 di Wajak, Jawa Timur. Fosil yang
berhasil ditemukan adalah berupa bagian fragmen tengkorak, tulang kering dan
juga tulang paha. Fosil temuan ini diberi nama Homo Wajakensis, yang memiliki
arti dalam Bahasa Indonesia ‘Manusia dari Wajak.’ Homo ini dikategorikan dengan
tingkatan kecerdasan yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan
Pithecanthropus Erectus. Penemuan ini dilakukan oleh seorang ahli anatomi
berkebangsaan Belanda bernama Dr. Eugene Dubois.
Jika merunut kembali sejarah awal mula penemuan manusia Wajak ini, bermula
pada sekitar tahun 1888, seorang B. D. van Rietschoten menemukan sebuah fosil
manusia purba yang berupa bagian ruas leher. Fosil yang ditemukan olehnya
tersebut berada pada sebuah ceruk di lereng pegunungan karst di Barat Laut
Campurdarat, dekat Tulungagung, Jawa Timur. Hasil dari penemuan van
Rietszchoten inilah yang pada akhirnya kembali diperdalam untuk diteliti lebih
jauh oleh Dr. Eugene Dubois.
Berdasarkan hasil penelitian yang Dubois perdalam tersebut, fosil manusia
purba Wajakensis diperkirakan pernah hidup pada sekitar 15.000 hingga 40.000
tahun SM (Sebelum Masehi.) Berdasarkan fosil yang ditemukan pertama kali yang
berupa sebuah ruas leher dan tengkorak kepala, Homo Wajakensis diperkirakan
memiliki volume otak sekitar 1600 cc. Namun, struktur tengkorak yang dimiliki
manusia Wajak berbeda dengan struktur tengkorak bangsa Indonesia pada umumnya.
Homo Wajakensis ini cenderung memiliki persamaan dengan manusia purba bangsa
Australia.
Kawasan daerah di sekitar Pegunungan Kapur
Selatan Tulungagung tercatat sebagai kawasan awal kehidupan dan sekaligus
perkembangan kehidupan sosial-budaya Tulungagung. Sehingga adanya awal
kehidupan di daerah Tulungagung tepat berada di bagian selatan itu, maka
membuat transisi kehidupan hingga sekarang.
Sebelum membahas mendalam mengenai manusia
purba di daerah Tulungagung yang terkenal dengan sebutan manusia Homo
Wajakensis, lebih baik kita telusuri di mana tempatnya diketemukan manusia
purba tersebut. Pada dasarnya mengenai letak diketemukannya manusia purba
Wajakensis masih gelap. Mayoritas masyarakat mengira kalau nama daerah ”Wajak”
keberadaan daerahnya berada di daerah Boyolangu yang sekarang kita kenal. Di
atas sudah sedikit disinggung mengenai biografi Dubois tentang penemuan awal
fosil manusia wajakensis yang berada di daerah tembang marmer.
Pada tahun 1859 M, Pegunungan Gamping selatan
daerah Campurdarat, waktu itu masih disebut dengan distrik Wajak. Daerah
tersebut tepatnya berada di Desa Gamping, di mana pada daerah tersebut terdapat
penggalian tambang marmer. Namun apabila kita kronologikan, maka nama daerah
yang dimaksud ”Wajak” pada masa penemuan situs fosil manusia purba tersebut
adalah di daerah Campurdarat, Tulungagung bagian selatan.
Di daerah selatan Tulungagung, yaitu tepatnya
di daerah distrik Wajak pada tahun 1889 diketemukan sisa-sisa manusia purba,
termasuk jenis manusia yang paling muda, oleh para ahli digolongkan ke dalam
jenis manusia cerdas (Homo Sapiens) (Anonim; 1971:6). Fosil tenggkorak
manusia purba, pada tahun 1889 M baru diketemukan oleh B. D. Van Rietschouten
dan penemuan fosil tersebut dinamakan dengan Wajak I. Setelah itu fosil Wajak
II diketemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1890. dari situlah mulai
terkuaknya tabir misteri suatu fosil manusia purba yang akhirnya dinamakan
dengan sebutan manusia purba Homo Wajakensis. Manusia purba Homo Wajakensis
tersebut merupakan jenis manusia muda yang digolongkan sebagai manusia cerdas
dan termasuk klarifikasi dalam Homo Sapiens.
Pengumuman pertama tentang fosil manusia purba
Homo Wajakensis diterbitkan tahun 1889 dalam pertemuan ”Koninklij – ke
Natuurkundigo in Nederkansch – Indie” pada 13 Desember 1888, Mr. C. Ph.
Sluiter tahun 1889 membaca surat dari Mr. B. D. Van Rietshouten yang isinya dia
telah menemukan tengkorak manusia dan sejenisnya. Abstraksi tentang isi surat
tersebut disimpan pada berkas koleksi Dubois, Rijksmuseum Van
Natuurlijk Historie, Leiden. Di dalamnya termasuk sketsa tentang situs
wajak yang diproduksi ulang oleh Van Briak, 1982. Surat tersebut tertanggal 31
Oktober 1888 (Majalah Bersinar Tulungagung, edisi 25/IV/April 2005). Menurut
Effendhie (1999), bahwasanya manusia purba Wajakensis mempunyai tinggi badan
173 cm, manusia Wajak ini juga menunjukkan ciri-ciri ras Mongoloid dan Australomelanosoid,
yang diperkirakan hidup antara 40000 sampai 25000 tahun yang lalu.
Bagi Dubois, atas penemuannya yang berupa
manusia purba Homo Wajakensis tersebut, akhirnya ia tinggal di daerah
Tulungagung kurang lebih selama lima tahun. Di daerah Tulungagung tersebut, ia
melakukan penyisiran lagi, ditempat Rietschoten menemukan fosil tengkorak
manusia, yakni di daerah cekungan bebatuan sekitar daerah Wajak. Yang menarik
pada saat Dubois tinggal di daerah Tulungagung adalah ia juga sering berkunjung
ke perkebunan milik orang Skotlandia yang bernama Boyd, tepatnya di daerah
Pegunungan Wilis. Setelah Dubois menemukan fosil manusia purba di daerah
Tulungagung Selatan (Homo Wajakensis), ia semakin berambisi untuk bisa
menemukan manusia purba yang lainnya. Akhirnya ia berpindah ke berbagai tempat
di daerah Jawa Timur dan daerah Jawa Tengah (http://www.athenapub.com/13intro-he-htm).
Sudah berpuluh tahun Dubois meninggalkan
Indonesia, akhirnya kuburannya yang terletak di perkebunan De Bedelaer miliknya
di Kota Venlo, hanya bisa membisu. Batu nisannya yang bertahtakan fosil
tempurung kepala dan dua tulang paha yang disilangkan dari Phithecantrhopus yang
menjadi saksi bahwasanya Dubois adalah penemu fosil manusia purba di Indonesia
(khususnya daerah Jawa Tengah dan daerah Jawa Timur) (http://www.athenapub.com/13intro-he-htm).
Karakteristik Manusia Purba
Wajakensis
Homo Wajakensis atau Manusia Wajak memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan
jenis manusia purba lainnya yang ditemukan di Indonesia, berikut ini merupakan
ciri-ciri atau karakteristik manusia purba Wajakensis, antara lain adalah :
1.
Mempunyai struktur bentuk wajah yang
tidak menonjol (cenderung lebih datar)
2. Memiliki
tinggi badan sekitar 130 cm hingga 210 cm
3. Struktur
hidung dengan ukuran yang sedikit lebar
4. Memiliki
bentuk mulut yang sedikit maju
5. Volume otak
yang bias melebihi 1300 cc, yakni sekitar 1350 cc sampai dengan 1450 cc
6. Diperkirakan
memiliki berat badan sekitar 30 sampai dengan 150 kg
7.
Terdapat jarak yang memisahkan
antara bagian hidung dan mulut dengan jarak yang sangat jauh.
8. Perawakan
tubuh masih menyerupai seperti kera, tetapi sudah bisa berdiri dengan tegap
9. Bentuk
tulang dahi tidak lagi menonjol, tetapi menjorok ke dalam
10.
Sudah mulai mengenal cara memproses
atau mengolah makanan, karena mereka mulai memakan makanan yang sudah matang
11. Memiliki
tulang dahi yang cukup panjang
12.
Bagian dahinya terlihat sedikit
miring, dan tepat pada bagian atas mata terdapat sebuah busur dahi yang sangat
jelas
13. Mempunyai
tulang pipi yang menonjol ke samping
14. Memiliki
otot-otot
15. Dilengkapi
ukuran tulang yang cukup besar
CIRI CIRI
Pada fosil perempuan memiliki ciri
muka yang datar dan lebar, akar hidung lebar dan bagian mulut menonjol sedikit.
Dahinya agak miring dan di atas matanya terdapat busur kening nyata. Serta
mempunyai volume otak sekitar 1.630 cc. Pada fosil
laki-laki perlekatan otot sangat nyata. Langit-langit juga dalam. Rahang bawah
serta gigi memiliki ukuran yang besar. Kalau menutup gigi maka muka atas akan
mengenai muka bawah. Dari tulang pahanya dapat diperkirakan tubuhnya setinggi
173 cm.
Dengan demikian manusia wajak
bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang besar. Wajak sudah termasuk Homo sapiens,
jadi sangat berbeda ciri-cirinya dengan Pithecanthropus. Manusia wajak
mempunyai ciri-ciri baik Mongoloid maupun Austromelanesoid. Makanannya
sudah dimasak walaupun masih sangat sederhana. Tengkorak Homo Wajakensis
memiliki banyak persamaan dengan tengkorak penduduk asli suku Aborigin di Australia.
Oleh karena itu, Eugene Dubois menduga bahwa Homo
Wajakensis termasuk dalam ras Australoide, bernenek moyang Homo Soloensis dan
menurunkan bangsa Aborigin. Fosil Homo Wajakensis juga memiliki kesamaan dengan
fosil manusia Niah di Serawak Malaysia, manusia Tabon di Palawan, Filipina,
dan fosil-fosil Australoid dari Cina Selatan, dan Australia
Selatan.
Adapun ciri-ciri khusus mengenai manusia purba
Homo Wajakensis, menurut S. Boeddhi Sampoerno yang dituliskan dalam Majalah
Bersinar Tulungagung edisi 25/IV/April 2005; bahwasanya fosil-fosil yang
diketemukan di distrik Wajak tersebut dinamakan Homo Wajakensis, ciri-cirinya adalah
tengkorak panjang dengan isi besar yakni Wajak I (wanita) berkapasitas 1.550
sentimeter kubik dan Wajak II (laki-laki) berkapsitas 1.650 sentimeter kubik.
Isi tengkorak ini melebihi isi tengkorak manusia modern.
Tonjolan keningnya besar dan kuat seperti Australid,
dahinya miring ke belakang tetapi kurang primitif, dan bagian tengah atap
tengkoraknya berlunas. Mukanya lebar datar dengan tulang pipi menonjol ke
samping seperti pada Mongoloid. Matanya besar, tetapi agak rendah. Ada alur di
depan hidungnya, akar hidungnya melesak ke bawah dahi, tulang hidungnya sempit,
kecil dan datar serta lubang hidungnya lebar. Belakang tengkoraknya membonggol
dengan tempat pelekatan otot leher rata. Langit-langit mulutnya besar dan
dalam, serta lebih besar dari Australid, giginya besar, tetapi
dalam proporsi modern, dan lengkungannya gigi lebih kecil dan berbentuk omega.
Rahang bawahnya kekar, kuat dan berat, sedangkan dagunya lemah dan miring ke
belakang, lebar cabang rahang bawahnya sebanding dengan manusia Hidelbreg (Jerman).
Dari tulang paha dan tulang kering dapat disimpulkan bahwa manusianya ramping
dan tinggi.
Menurut Peter Bellwood (2000:125), mengatakan
tengkorak-tengkorak Wajak masih menimbulkan masalah-masalah yang menarik.
Banyaknya pakar menganggap tengkorak-tengkorak tersebut tergolong
Australo-Melanesia dan mempunyai otak dan wajak yang besar. Hanya saja, Coon
(1962) maupun Jacob (1967) mencatat kemungkinan adanya kecenderungan ciri Mongoloid yang
tampak dari mukanya yang datar. Jika tarikh tersebut benar, tengkorak dari
Wajak mungkin memperlihatkan beberapa tingkat kecenderungan Mongoloid untuk
populasi-populasi di Jawa sebelum masa penghunian oleh penutur bahasa
Austronesia. Sayangnya, kecenderungan ciri morfologis yang tepat dari
tengkorak-tengkorak ini tidak begitu jelas, karena adanya berbagai masalah
dalam rekontruksinya. Jika kecenderungan ciri-ciri tersebut menunjukkan
aliran gen praAustronesia dari daratan Asia ke Indonesia, maka
tengkorak-tengkorak Wajak itu sangat penting. Pandangan tersebut sebagian
ditentang oleh Jacob (1967:51) yang pernah menganggap populasi Wajak
kemungkinan adalah leluhur bersama Mongoloid Indonesia maupun
Australo-Melanesia sekarang.
Untuk merangkai informasi mengenai situs
manusia purba yang berada di Indonesia, khususnya dibagian selatan Tulungagung.
Jacob (1967), menyatakan bahwa baru-baru ini lebih banyak lagi yang diketemukan
mengenai manusia purba. Jacob beranggapan situs-situs yang paling bermasalah
salah satunya adalah situs Wajak di Jawa Timur bagian selatan. Di sini, dua
tengkorak diketemukan pada tahun 1888 dan 1890 – yang terakhir diketemukan oleh
Dubois – dalam satu ceruk peneduh yang sekarang sudah hancur dan tidak ada
bukti langsung yang tertinggal untuk penarikhan atau mengetahui konteksnya
(Strom dan Nelson 1992). Untungnya, baru-baru ini dimungkinkan untuk meneliti
sebuah tulang paha manusia dari situs tersebut dengan penarikhan C14 pada apatite tulang
(Shutler et al. 1994), dengan hasil kira-kira 6500 BP, jadi
tulang-tulang manusia dan binatang dari Wajak selayaknya dapat dianggap berumur
Holosen Awal sampai pertengahan (Peter Bellwood; 2000:124-125).
Menurut Soekmono ((a)1973:29), pendapat
Dubois, Homo Wajakensis itu termasuk dalam golongan bangsa Australoide,
bernenek moyang Homo Soloensis dan nantinya menurunkan langsung bangsa-bangsa
asli Australia itu. Menurut Voon Koenigswald, maka Homo Wajakensis itu seperti
juga Homo Soloensis, asalnya dari lapisan bumi Pleistosen Atas dan mungkin
sekali sudah dimasukkan dalam jenis Homo Sapiens. Ketinggian tingkatnya lebih
jelas lagi dari kenyataan, bahwa berbeda dari jenis-jenis manusia tertua yang
sudah disebutkan di atas, maka Homo Wajakensis itu telah di tanam (baca:
dikubur), sebagaimana realitanya dari bekas-bekasnya waktu diketemukan.
Pada zaman sekarang daerah Tulungagung menjadi
salah satu daerah industri tambang marmer yang terkenal hingga ke mancanegara,
bisa kemungkinan juga keberadaan situs-situs manusia purba Homo Wajakensis
tepatnya di gua-gua pegunungan selatan telah rusak akibat dari polah aktivitas
manusia dalam menambang marmer atau batu onix. Namun apabila kita ingin melacak
keberadaan situs-situs manusia purba Homo Wajakensis kemungkinan masih bisa,
dengan indikasi daerahnya berada di dukuh Cerme, Campurdarat dan gua-gua di
Cerme yang disebut dengan Gua Lawa.
Bukti arkeologis lain yang mengenai keberadaan
kehidupan manusia purba saat itu, adalah berupa temuan hunian gua (rock
sheller) di daerah Besole, di daerah Besuki yaitu Gua Song Gentong. Temuan
yang didapatkan di situs gua hunian itu berupa sisa-sisa makanan, yakni
cangkang kerang (Gastropoda) dan juga tulang-tulang binatang sebagai
sampah dapur. Selain tempat-tempat itu, bukti serupa pernah diketemukan di
situs Gua Pasetran Gondomayit yang tepatnya di dusun Ngelorejo, desa
Janglungharjo, Kecamatan Tanggunggunung, Kabupaten Tulungagung.
Adanya gua-gua yang berada di Pegunungan
Selatan Tulungagung tersebut, sebagai tempat tinggal atau adanya sebuah
kehidupan manusia purba Homo Wajakensis. Sebab dimungkinkan gua-gua yang
keberadaannya tidak jauh dari pantai selatan tersebut menjadi tempat
tinggalnya, karena sewaktu-waktu mereka tidak jauh dalam mencari makanan yang
berupa kerang-kerang atau ikan. Daerah Wajak relatif tidak jauh dari keberadaan
rawa-rawa ataupun Samudera Hindia. Rawa Bening salah satunya, dimungkinkan
memang rawa tersebut merupakan rawa yang terjadi semasa dengan terjadinya
Gunung Gamping di daerah tersebut.
Namun tidak hanya keberadaan manusia Homo
Wajakensis saja yang ada, melainkan kehidupan di Pegunungan Kapur Selatan
Tulungagung telah dihuni berbagai jenis makhluk binatang seperti antelope,
babi hutan, kijang, rhino, dan juga berbagai jenis kera. Sehingga
kalau ditarekhkan pada masa manusia purba Wajakensis sudah mengenal kultur,
sosio dan ekonomis. Secara tidak langsung maka manusia purba tersebut sudah
mampu untuk mengolah lingkungan Pegunungan Kapur Selatan Tulungagung.
Dengan banyaknya gua-gua yang terdapat
dibagian selatan daerah Tulungagung tentunya kita dapat menafsirkan, bahwasanya
kehidupan manusia purba pada zaman dahulu memang sudah ada di daerah tersebut,
bukti dan data yang ada, sudah menjadi pengukuhan bagi dunia kesejarahan
bahwasanya daerah Tulungagung menjadi salah satu penyokong kesejarahan
internasional, dengan pernah diketemukannya fosil manusia purba yang akhirnya
diberi nama Homo Wajakensis. Temuan manusia purba Homo Wajakensis,
mengisyaratkan pada kita bahwa sekitar 40000 tahun silam, khususnya daerah
Tulungagung bagian selatan telah di diami oleh manusia purba Homo Sapiens yang
tergolong dalam Ras Wajak, tentunya berbeda dengan ras manusia sekarang pada
umumnya yang bertempat tinggal di kawasan tersebut.
Kebudayaan Manusia Wajakensis
Selain artefak-artefak yang ditinggalkan oleh
Manusia Wajak, kehidupan mereka pada zaman prasejarah turut meninggalkan
beberapa kebudayaan yang tersisa, dan yang hingga saat ini masih dapat
ditemukan keberadaannya sebagai warisan budaaya. Beberapa kebudayaan yang
diwariskan oleh Manusia Wajak, di antaranya sebagai berikut :
a. Kebudayaan Pacitan
Dalam kebudayaan Pacitan, terdapat beberapa
alat perkakas yang dahulu kala sempat digunakan sehari-hari oleh Manusia Wajak.
Alat-alat perkakas yang kini menjadi bagian dari kebudayaan Pacitan tersebut,
dahulu ditemukan oleh seorang arkeolog bernama Von Koenigswald pada sekitar
tahun 1935 di pesisir danau Baksoko, daerah Desa Punung, Pacitan, Jawa Timur.
Alat-alat perkakas tersebut terdiri atas Kapak
Genggam, yaitu sebuah alat yang menyerupai bentuk kapak, yang tidak memiliki
gagang dan digunakan dengan cara digenggam. Namun tidak hanya Kapak Genggam
saja, terdapat juga Kapak Perimbas (chooper), Kapak Penetak, Pahat Genggam, dan
lainnya.
b. Kebudayaan Ngandong
Dalam kebudayaan Ngandong juga terdapat
beberapa bentuk budaya yang diwariskan karena dulunya pernah digunakan oleh
Manusia Wajak pada zaman prasejarah. Kebudayaan Ngandong sendiri, merupakan
salah satu kebudayaan yang diwariskan oleh kehidupan Homo Wajakensis dahulu.
Terdapat beberapa alat yang menjadi bentuk dari kebudayaannya. Alat-alat
tersebut ditemukan di daerah Ngandong, Jawa Timur.
Beberapa alat tersebut terdiri atas Kapak
Genggam, yang terbuat dari batu, dan alat-alat dengan ukuran yang lebih
kecil atau disebut juga dengan Serpih (flake). Namun tidak hanya Kapak Genggam
dan Serpih saja, pada kebudayaan Ngandong juga terdapat sebuah alat yang dibuat
dari tulang hewan dan tanduk hewan.
Kalau ditinjau dalam segi kebudayaan, Homo
Wajakensis sudah mempunyai unsur budaya. Menurut Soekmono ((a)1973:14),
kebudayaan dewasa sekarang ini adalah hasil dari pertumbuhan dan perkembangan
di waktu yang lalu (sekali-kali bukan menjadi pengganti, melainkan lanjutan).
Maka untuk mengetahuinya dan mengenalnya, lebih-lebih untuk dapat menyelaminya
dengan benar, perlulah ditinjau dari sejarahnya.
Menurut manuskrip Sejarah dan Babad
Tulungagung (1971), bahwasanya dasar penguburan adalah erat kaitannya dengan
sebuah kepercayaan, yaitu suatu usaha untuk melindungi ruh-ruh dari gangguan
alam (lingkungan) atau binatang buas serta faktor-faktor lain. Maka dari itu,
kalau memang benar manusia purba Homo Wajakensis tersebut sudah mengenal
penguburan, berarti mereka sudah mengenal usaha untuk melindungi hidup mereka,
yaitu berburu untuk menjamin kelangsungan kehidupannya, mendirikan tempat
tinggal untuk berteduh dan melindungi dari gangguan dan liarnya binatang buas.
Dalam hal ini tidak mustahil apabila gua-gua yang terdapat di daerah Wajak pada
masa dahulunya juga merupakan tempat tinggal bagi manusia-manusia purba seperti
Homo Wajakensis.
Corak kebudayaan yang ada masa manusia purba
sangatlah unik dan perlu untuk diketahui. Kala itu manusia antara lain telah
mengenal logam. Budaya prasejarah yang pernah terdeteksi di kawasan Tulungagung
Selatan diantaranya pernah diketemukan sarkofagus di situs Darungan di desa
Kalibatur Kecamatan Kalidawir. Pada saat diketemukan oleh penduduk setempat
sekitar tahun 1978, didapati wadah kubur itu masih lengkap dengan bagian tutup
yang terbuat dari batuan gamping berwarna kekuningan. Salah satu ujungnya
dipahat meruncing, yang serupa dengan lunas perahu. Didalam lubang bagian atas
sarkofagus itu terdapat kerangka manusia dan bekal kubur atau burial
gift yang berupa manik-manik dan senjata dari bahan besi.
Budaya semacam bekal kubur maupun perahu lunas
yang menyerupai perahu arwah, hal itu merupakan salah satu kebudayaan khas masa
megalitikum yang pernah ada di Tulungagung zaman prasejarah. Dalam kaitan hal
serupa pada tahun 1982 di dusun Nglempong, desa Gamping juga pernah diketemukan
sisa-sisa tulang manusia yang berupa tengkorak dan fragmen tulang serta
manik-manik dan juga benda yang terbuat dari perunggu.
Maka dari itulah, jejak-jejak sejarah zaman
prasejarah yang ada di daerah Tulungagung perlu untuk didokumentasikan dalam
rangka demi masa depan generasi muda maupun pelajar untuk bisa mengetahui dan
mencintai daerahnya. Tulungagung yang kini sudah berkembang pesat dalam berbagai
sektor, kita sebagai generasi muda Tulungagung setidaknya mengetahui, memahami,
mencintai, dan menyayangi kesejarahan lokal Tulungagung yang merupakan tempat
kelahiran.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar