Teknologi digital, selain memberi peluang, juga memberikan tantangannya sendiri, ke depannya justru  bisa menjadi ancaman terhadap  eksistensi Perguruan Tinggi formal. Konsumen (baca: mahasiswa) sekarang semakin banyak  mendapatkan alternatif sumber  pengetahuan. Kalau yang ditawarkan Perguruan Tinggi kurang kompetitif, tidak memberikan  “value” yang diharapkan bahkan lebih dari perkiraan, jangan kaget kalau nanti calon mahasiswa lebih memilih belajar secara online yang lebih fleksibel, menyenangkan dan gratis. 

Kawan, sama halnya dengan persaingan di dunia transportasi taksi.  Saat ini bukan lagi  persaingan antara perusahaan taksi, tapi perusahaan taksi dengan perusahaan jasa aplikasi transportasi. Kita melihat adanya pergeseran kecenderungan penggunaan transportasi umum ke transportasi  yang berbasis aplikasi, seperti Grab dan Gojek, menyingkirkan peran perusahaan taksi tradisional pada umumnya..

Di sisi lain, bukan cerita rahasia lagi bahwa kehidupan dan proses belajar mengajar tatap muka di kelas-kelas berbagai kampus baik negeri maupun swasta bukanlah pengalaman yang menarik bagi  banyak mahasiswa. Banyak kelas membosankan, apalagi jika dosen mengajar dengan pendekatan dan pola-pola lama, yang sudah dilakukan puluhan tahun ke belakang tanpa adanya perubahan (baca: monoton). Padahal mahasiswa kini bukanlah mahasiswa 10-50 tahun yang lalu, mahasiswa masa kini memerlukan perubahan dan adaptasi cara mengajar dan belajar. 


Sudah sepatutnya menjadi refleksi bersama. Maka dari itu makna kelulusan kuliah, antara kebahagiaan sementara atau menciptakan pengangguran selamanya.