Selasa, 11 Agustus 2020

sekolah konservasi masyarakat itu di Tulungagung

Seyogianya setiap kampus adalah kampus konservasi, mengingat setiap dari kita sedang menghadapi darurat ekologi. Jika sebuah industri masuk ke daerah, hampir seluruh pemberitaan media fokus kepada investasi dan bukan kepada berapa hektar sawah yang lenyap. Memang begitulah cara pikir negara berkembang ini, yang menafsirkan kemajuan dari banyaknya pabrik. 

Menjadi pekerja, menjadi buruh, sudah cukup bagi masyarakat bertarget rendah. Jadi yang lebih berbahaya dari sudut pandang seperti ini bukan hanya penyusutan lahan, melainkan penyusutan orientasi kejiwaan masyarakat. Saat pabrik-pabrik masuk yang terbayang adalah kesempatan kerja dan cukup sebagai buruh-buruhnya. Petani silakan menjual sawah dan ladang untuk diserahkan kepada pemodal dan kita tidak pernah tahu di belakang pemodal itu bernama siapa. Miris tapi telah banyak terjadi

setiap pengalaman masuk beberapa kampus, saya sudah bersyukur dengan kerimbunannya, tetapi masih risau pada teknologi pengolahan sampahnya. Dibakar adalah pemandangan yang lazim. Jadi sementara mahasiswa belajar di kelas, asap bisa mengepung mereka dan anehnya seperti tak ada yang risau, bahkan mahasiwa itu sendiri. 

Jadi semaju apapun sebuah kampus, jika masih begini sikapnya pada sampah, sebetulnya masih ada jiwanya yang terbelah. Secara gedung dan buku telah bergerak maju, tetapi sebagian bawah sadarnya masih berada di wilayah masa kecil saya dulu, ketika reaksi kita kepada alam masih sangat tradisional dan naluriah.

Belum lama ini saya menengok keponakan yang menjadi guru tidak tetap di sebuah SMK di Kecamatan Boyolangu Tulungagung. Saya dipameri aneka tanaman hasil budidaya sekolah ini. Betapa, ya betapa, cukup hanya dengan bersekolah di SMK ini saja, Indonesia tak perlu risau pada krisis pangan. Tetapi adakah anak-anak di sekolah ini bangga pada sekolahnya, adakah guru-gurunya juga bangga, adakah negara juga bangga padanya? Saya terkejut, sekolah yang menurut saya sangat produktif ini ternyata tak punya lahan pertaniannya sendiri. Mereka melakukan kerjasama dengan pihak perhutani di wilayah selatan kota Tulungagung untuk melakukan kegiatan produktif.

Di lokasi konservasi sekolah ini, dengan diantar oleh guru tak tetap pula, saya dipameri hasi kerja berikutnya. Hasil kerja yang lama saya tanyakan di dalam hati, menyangkut soal kebiasaan membakar sampah yang terkenal itu. Ia menunjukkan bangunan, kira-kira sebesar pos kamling dengan tinggi sekitar empat meter, yang ternyata itulah pengolahan asap menjadi asap cair. Asap cair itulah yang bisa difungsikan sebagai pestisida alamiah. Membakar tanpa asap dan berbuah berkah. Begitu sederhana ternyata menghentikan bakar-bakaran sembarangan itu. Mereka juga berupaya menyadarkan masyarakat agar tidak sesuka hatinya untuk menebang pohon dan berusaha hutan yang rindang itu digunduli untuk kepentingan pribadi nya. Dampaknya luar biasa besar bagi masyarakat sekitar. Selain itu juga kami ditunjukkan berbagai tanaman produktif berada di kawasan konservasi di kecamatan Besuki ini. Bukan cuma sederhana tetapi juga demikian produktif hasilnya. 

Jadi jelas, bangsa ini tidak kekurangan orang ahli, tidak kekurangan teknologi, tetapi hanya kekurangan sikap peduli dan kesungguhannya sebagai bangsa. Di kampus-kampus yang luas itu, saya jarang menemukan bangunan sederhana yang saya rindukan, yang ternyata cukup dibangun oleh seorang guru bantu, lulusan SMK ini.

Salam lestari
Fikri imanullah

2 komentar:

Luthfi Alifah mengatakan...

Mantap kak terus berkarya

spiritliterasi.com mengatakan...

Keren. Banyak inspirasi.